Allah Swt mengilhamkan di dalam hati sanubari kita kecenderungan kepada kebaikan dan kebenaran. Hanya saja hawa nafsu seringkali lebih kuat mendominasi diri sehingga tertutuplah bisikan nurani kita.
Alhamdulillah. Segala puji hanya milik Allah Swt. Semoga Allah Yang Maha Menguasai segala kejadian, menggolongkan kita sebagai orang-orang yang istiqomah di jalan-Nya. Salawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Baginda Nabi Muhammad Saw.
Allah Swt. berfirman, “Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (QS. Al Hajj [22]:46).
Saudaraku, sebenarnya Allah Swt mengilhamkan di dalam hati sanubari kita kecenderungan kepada kebaikan dan kebenaran. Hanya saja hawa nafsu seringkali lebih kuat mendominasi diri kita sehingga tertutuplah bisikan nurani kita oleh bisikan hawa nafsu.
Seperti ketika kita menghadapi orang yang sikapnya membuat kita kesal. Hawa nafsu mengajak kita untuk marah, tapi sebenarnya hati nurani mengajak kita untuk menahan amarah dan lebih banyak mengingat kebaikan yang pernah dilakukan orang tersebut.
Suatu ketika ada seorang laki-laki datang dan mengadukan sikap istrinya kepada Umar bin Khoththob r.a. Begitu sampai di depan rumah Umar, laki-laki itu mendengar suara istri Umar sedang marah kepada suaminya, namun Umar diam saja. Laki-laki itu memutuskan untuk pulang, namun saat beranjak pergi Umar keluar dari rumahnya dan bertanya tentang keperluannya.
Laki-laki itu menjelaskan bahwa ia datang untuk mengadukan sikap istrinya. Akan tetapi dia mengurungkan niat tersebut karena mengetahui Umar pun sedang mengalami hal yang sama.
Laki-laki itu sempat bertanya mengapa Umar diam saja ketika sang istri memarahinya. Umar menjelaskan, “Bagaimana aku bisa marah kepada istriku karena dialah yang mencuci bajuku, dialah yang memasak roti dan makananku, ia juga yang mengasuh anak-anakku, padahal semua itu bukanlah kewajibannya. Karena istriku, aku merasa tenteram (untuk tidak berbuat dosa). Maka, aku harus mampu menahan diri terhadap perangainya.”
Maasyaa Allah. Padahal kita tahu bagaimana sosok Umar yang dikenal tegas bahkan berkarakter keras. Akan tetapi, beliau bisa mengendalikan hawa nafsunya sehingga selamat dari amarah dan mengedepankan sikap positif. Kemampuan bersikap seperti Umar ini sebenarnya bisa kita latih sehingga kita terampil melakukannya.
Biasakanlah untuk menahan diri ketika emosi muncul di dalam diri kita. Diam jauh lebih baik daripada berkata buruk atau sia-sia. Ingat-ingatlah kebaikan orang yang sedang membuat kita kesal. Beristighfarlah dan berpikirlah positif. Jika hal ini bisa kita biasakan, insyaa Allah kita akan terampil mengendalikan hawa nafsu kita dan tetap pada jalan yang Allah ridhoi. Insyaa Allah.
Source : Abdullah Gymnastiar
Alhamdulillah. Segala puji hanya milik Allah Swt. Semoga Allah Yang Maha Menguasai segala kejadian, menggolongkan kita sebagai orang-orang yang istiqomah di jalan-Nya. Salawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Baginda Nabi Muhammad Saw.
Allah Swt. berfirman, “Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (QS. Al Hajj [22]:46).
Saudaraku, sebenarnya Allah Swt mengilhamkan di dalam hati sanubari kita kecenderungan kepada kebaikan dan kebenaran. Hanya saja hawa nafsu seringkali lebih kuat mendominasi diri kita sehingga tertutuplah bisikan nurani kita oleh bisikan hawa nafsu.
Seperti ketika kita menghadapi orang yang sikapnya membuat kita kesal. Hawa nafsu mengajak kita untuk marah, tapi sebenarnya hati nurani mengajak kita untuk menahan amarah dan lebih banyak mengingat kebaikan yang pernah dilakukan orang tersebut.
Suatu ketika ada seorang laki-laki datang dan mengadukan sikap istrinya kepada Umar bin Khoththob r.a. Begitu sampai di depan rumah Umar, laki-laki itu mendengar suara istri Umar sedang marah kepada suaminya, namun Umar diam saja. Laki-laki itu memutuskan untuk pulang, namun saat beranjak pergi Umar keluar dari rumahnya dan bertanya tentang keperluannya.
Laki-laki itu menjelaskan bahwa ia datang untuk mengadukan sikap istrinya. Akan tetapi dia mengurungkan niat tersebut karena mengetahui Umar pun sedang mengalami hal yang sama.
Laki-laki itu sempat bertanya mengapa Umar diam saja ketika sang istri memarahinya. Umar menjelaskan, “Bagaimana aku bisa marah kepada istriku karena dialah yang mencuci bajuku, dialah yang memasak roti dan makananku, ia juga yang mengasuh anak-anakku, padahal semua itu bukanlah kewajibannya. Karena istriku, aku merasa tenteram (untuk tidak berbuat dosa). Maka, aku harus mampu menahan diri terhadap perangainya.”
Maasyaa Allah. Padahal kita tahu bagaimana sosok Umar yang dikenal tegas bahkan berkarakter keras. Akan tetapi, beliau bisa mengendalikan hawa nafsunya sehingga selamat dari amarah dan mengedepankan sikap positif. Kemampuan bersikap seperti Umar ini sebenarnya bisa kita latih sehingga kita terampil melakukannya.
Biasakanlah untuk menahan diri ketika emosi muncul di dalam diri kita. Diam jauh lebih baik daripada berkata buruk atau sia-sia. Ingat-ingatlah kebaikan orang yang sedang membuat kita kesal. Beristighfarlah dan berpikirlah positif. Jika hal ini bisa kita biasakan, insyaa Allah kita akan terampil mengendalikan hawa nafsu kita dan tetap pada jalan yang Allah ridhoi. Insyaa Allah.
Source : Abdullah Gymnastiar