Notification

×

Iklan

Iklan

Biaya Kedokteran Harus Murah Jika Ingin Distribusi Dokter Merata

Selasa, 28 Maret 2017 | 16:09 WIB Last Updated 2017-03-28T09:09:01Z
JAKARTA,LENTERAJABAR.COM - Penyebaran dokter dan dokter spesialis di Tanah Air hingga saat ini masih tidak merata. Biaya pendidikan kedokteran yang melangit menjadi salah satu penyebab ketimpangan dalam distribusi dokter.

Anggota Komisi IX DPR RI yang membidangi kesehatan, Ahmad Zainuddin mengatakan, diantara masalah utama distribusi dokter adalah mahalnya biaya pendidikan kedokteran di perguruan tinggi baik negeri maupun swasta.

Dia mencontohkan, seorang siswi bernama Suharsi harus menelan pil pahit lantaran batal meneruskan pendidikannya di Fakultas Kedokteran Universitas Tadulako, Palu, Sulawesi Tengah. Padahal alumni SMAN 1 Sigi ini telah berstatus sebagai mahasiswi universitas tersebut setelah lulus SNMPTN 2016.

"Suharsi harus meninggalkan mimpinya menjadi dokter karena tidak mampu membayar biaya masuk sebesar Rp 275 juta. Biaya itu untuk masuk ke Universitas Tadulako di Sulawesi Tengah. Bagaimana dengan biaya di kampus-kampus favorit di Jawa? Bagaimana juga dengan biaya masuk pendidikan spesialis? Tentu lèbih mahal," ujar Zainuddin di Jakarta, Senin (27/3/2017).

Dia mengatakan, mahalnya biaya pendidikan kedokteran menyebabkan para dokter banyak yang lebih berpikir pragmatis daripada tanggungjawab kemanusian dan pengabdian. Bila pemerintah tidak mampu mengatasi mahalnya pendidikan kedokteran, menurut politikus PKS ini, selamanya tidak akan terjadi pemerataan distribusi dokter dan dokter spesialis.

"Karena setiap dokter akan mencari tempat praktik yang cepat menghasilkan uang banyak yaitu di kota-kota besar dan daerah padat penduduk. Dan mereka merasa pemerintah tidak berhak terlalu banyak mengatur mereka," imbuhnya.

Lebih lanjut menurut Zainuddin, Perpres No 4 tahun 2017 tentang Wajib Kèrja Dokter Spesialis (WKDS) yang baru saja diteken Presiden Joko Widodo tidak akan sukses karena para dokter sepesialis hanya akan berada di daerah tempat wajib kerja satu atau dua hari saja dalam seminggu. Selebihnya, dokter bersangkutan akan praktik di tempat lain yang akan menghasilkan uang lebih banyak.

"Dan usai wajib kerja tentu mereka akan meninggalkan daerah tersebut sama sekali. Kebijakan pemerintah untuk meningkatkan akses dan pemenuhan kebutuhan masyarakat terhadap pelàyanan kesehatan spesialistik dengan mengeluarkan perpres tersebut justru terancam gagal karena tidak menyentuh akar utama permasalahan," cetusnya.

Komisi IX DPR RI melakukan kunjungan kerja ke FK Universitas Sumatera Utara pada 24-26 Maret 2017 lalu dalam rangka meninjau kesiapan para pemangku kepentingan kesehatan dalam mensukseskan WKDS. Dari kunjungan tersebut, Zainuddin mengatakan, Komisi IX menemukan problem utama dalam Perpres WKDS. Dia menuturkan, WKDS di daerah dengan tunjangan antara Rp 24 juta sampai dengan Rp 30 juta sebulan sebagaimana tertera dalam perpres tersebut tidak akan menyelesaikan masalah distribusi dokter spesialis.

Anggota DPR RI asal daerah pemilihan Jakarta Timur ini mengatakan, membuat kebijakan pendidikan kedokteran yang murah dan terjangkau umumnya lapisan masyarakat adalah solusi yang harus ditempuh pemerintah bila serius ingin menyelesaikan pemerataan distribusi dokter dan dokter spesialis. Dan itu artinya pemerintah perlu mengalokasikan anggaran untuk membiayai pendidikan kedokteran.

"Sehingga anak-anak dari daerah dan pelosok pun bisa mengenyam pendidikan kedokteran. Setelah itu pemerintah bisa memaksa mereka bekerja di daerah masing-masing," pungkasnya.(Red/Rks)
×
Berita Terbaru Update