Ketua Komisi X DPR Teuku Riefky Harsya dalam laporannya menjelaskan bahwa pembahasan RUU ini dimulai pada 12 April 2016. Pembahasan dimulai dengan rapat kerja dengan Mendikbud RI, Menpar RI, Menpan-RB RI, Menag RI, dan Menkumham RI, untuk menerima DIM yang disampaikan oleh pemerintah. Panja pun telah melaksanakan berbagai kegiatan, antara lain Rapat Panja, Rapat Dengar Pendapat, hingga uji publik ke beberapa daerah.
"Setelah melalui berbagai rapat tersebut, proses pembahasan RUU tentang Pemajuan Kebudayaan sudah berjalan selama tujuh kali masa sidang, karena terdapat materi krusial yang menjadi pembahasan panja, sehingga membutuhkan tiga kali perpanjangan waktu," jelas Riefky di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis( 27 /4/ 2017).
Kemudian, masih kata Riefky, pada tanggal 29 Maret 2017, Panja menyepakati perubahan judul RUU dari RUU tentang Kebudayaan menjadi RUU tentang Pemajuan Kebudayaaan. Perubahan judul RUU mempertimbangkan muatan RUU yang akan diatur dan juga merujuk kepada ayat (1) Pasal 32 UUD NKRI Tahun 1945.
"Panja menyadari betul bahwa RUU tentang Pemajuan Kebudayaan ini memiliki tingkat urgensi dan mengandung substansi yang strategis serta bermanfaat bagi perkembangan dan kemajuan bangsa serta peradaban bangsa," imbuh politikus F-PD itu.
Selanjutnya, dalam Rapat Kerja yang dilakukan pada tanggal 18 April 2017 seluruh fraksi-fraksi menyampaikan pendapat akhir mini dan menyetujui terhadap RUU tentang Pemajuan Kebudayaan untuk dilanjutkan dalam pengambilan keputusan tingkat II di rapat paripurna. pemerintah pun menyampaikan persetujuannya.
Dia menjelaskan ada beberapa pokok pembahasan dalam RUU ini. Pertama, kebudayaan sebagai investasi bukan biaya. Dalam RUU ini ditegaskan bahwa kebudayaan merupakan investasi masa depan untuk membangun peradaban bangsa, sehingga harus ada keyakinan yang kuat bahwa dengan pemajuan kebudayaan, maka Indonesia akan maju dan dapat bertahan sampai usia bumi ini berakhir.
"Kemudian, kedepannya akan ada sistem data utama Kebudayaan yang mengintegrasikan seluruh data Kebudayaan dari berbagai sumber dan dari berbagai kementerian/lembaga," tukas Riefky.
Sistem itu, lanjut Riefky, disebut dengan Sistem Pendataan Kebudayaan Terpadu yang berisi tentang Objek Pemajuan Kebudayaan, Sumber Daya Manusia Kebudayaan, Lembaga Kebudayaan, Pranata Kebudayaan, Sarana dan Prasarana Kebudayaan, dan data lain terkait Kebudayaan. Data tersebut dapat diakses oleh setiap orang dengan tetap mempertimbangkan kedaulatan, keamanan, dan ketahanan nasional.
"Sementara dalam hal pendanaan, selain melalui APBN dan APBD, sumber pendanaan kebudayaan lainnya adalah dana perwalian Kebudayaan yang dibentuk oleh pemerintah," imbuh politikus asal dapil Aceh itu.
Dana Perwalian Kebudayaan yang dimaksud adalah sejumlah aset finansial yang dititipkan atau dihibahkan oleh orang atau lembaga untuk dikelola dengan baik melalui sebuah lembaga wali amanat dan disalurkan serta dimanfaatkan untuk kepentingan Pemajuan Kebudayaan.
Dalam RUU ini juga dibahas mengenai Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah, Strategi Kebudayaan, Rencana Induk Pemajuan Kebudayaan, Pemanfaatan Kebudayaan, Penghargaan, hingga pengaturan sanksi. Selain itu, Rapat Paripurna DPR RI ini juga mengesahkan RUU tentang Sistem Perbukuan.(Red/Hms)