JAKARTA,LENTERAJABAR.COM-Anggota DPR RI, M. Nasir Djamil mengutuk keras terjadinya kejahatan kemanusiaan yang dilakukan militer dan kelompok ekstrimis di Rohingya Myanmar dan meminta agar kejahatan tersebut segera dihentikan. Menurutnya, pembakaran kampung-kampung, pembunuhan warga khususnya anak-anak dan wanita merupakan kebrutalan yang mengarah kepada pembersihan etnis alias genosida yang termasuk kedalam kejahatan HAM berat.
"Pemerintah Myanmar telah mempertontonkan salah satu bentuk kejahatan serius dimuka bumi ini. Karena itu Atas dasar kemanusiaan, sudah seharusnya pembantaian yang mengarah pada genosida tersebut dihentikan dan diusut tuntas!" Tegas politisi Aceh tersebut, yang pernah melihat dan merasakan langsung konflik bersenjata antara GAM dan TNI-Polri selama puluhan tahun di Aceh.
Konflik Rohingya yang berujung pada pembataian kelompok muslim di Rohingya sudah berlangsung lama. Karena itu, Nasir Djamil heran dan menyayangkan tidak ada langkah kongkret dari dunia baik itu PBB maupun ASEAN untuk memproses dan menghentikan pembantaian tersebut.
Sebagai Anggota Komisi III DPR, Nasir Djamil menyerukan agar ada langkah-langkah kongkret yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk dapat mengakhiri kejahatan HAM berat di Myanmar tersebut.
Pertama, Pemerintah dapat melakukan upaya diplomatik dengan mengultimatum Kedutaan Besar Myanmar di Indonesia agar Pemerintahan Myanmar menghentikan pembantaian. Apabila ultimatum tidak diindahkan, maka Duta Besar Myanmar harus diusir dari Indonesia sebagai bentuk protes keras. Termasuk juga memanggil duta besar Indonesia untuk Myanmar.
Kedua, Pemerintah dapat mendorong PBB maupun ASEAN untuk membentuk tim khusus untuk melakukan pencarian fakta sekaligus menjadi penjaga kedamaian dan melindungi kelompok minoritas muslim di Rohingya. Apalagi, telah ada kelompok Militan Tentara Penyelemat Rohingya Arakan (ARSA) yang melakukan perlawanan ke militer Myanmar, sehingga jika dibiarkan berkonflik, maka akan semakin membuat rumit konflik di Rohingya, sementara warga muslim biasa hanya akan menjadi korban.
Ketiga Pemerintah dapat mendorong komunitas internasional khususnya ASEAN untuk mengembargo Myanmar baik secara diplomatik maupun ekonomi. Embargo tersebut lazim diterapkan untuk menekan negara yang melakukan kejahatan kemanusiaan.
Selain itu, politisi PKS tersebut juga mendorong agar lembaga pemberi Nobel di Oslo Norwegia, mengevaluasi kembali bahkan mencabut pemberian hadiah Nobel perdamaian kepada tokoh Myanmar, Aung San Suu Kyi yang diam saja atas pelanggaran HAM di Rohingya. Diamnya Aung San Suu Kyi dinilai sebagai bentuk persetujuannya atas pembantaian di Rohingya.(Red/Rls)
"Pemerintah Myanmar telah mempertontonkan salah satu bentuk kejahatan serius dimuka bumi ini. Karena itu Atas dasar kemanusiaan, sudah seharusnya pembantaian yang mengarah pada genosida tersebut dihentikan dan diusut tuntas!" Tegas politisi Aceh tersebut, yang pernah melihat dan merasakan langsung konflik bersenjata antara GAM dan TNI-Polri selama puluhan tahun di Aceh.
Konflik Rohingya yang berujung pada pembataian kelompok muslim di Rohingya sudah berlangsung lama. Karena itu, Nasir Djamil heran dan menyayangkan tidak ada langkah kongkret dari dunia baik itu PBB maupun ASEAN untuk memproses dan menghentikan pembantaian tersebut.
Sebagai Anggota Komisi III DPR, Nasir Djamil menyerukan agar ada langkah-langkah kongkret yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk dapat mengakhiri kejahatan HAM berat di Myanmar tersebut.
Pertama, Pemerintah dapat melakukan upaya diplomatik dengan mengultimatum Kedutaan Besar Myanmar di Indonesia agar Pemerintahan Myanmar menghentikan pembantaian. Apabila ultimatum tidak diindahkan, maka Duta Besar Myanmar harus diusir dari Indonesia sebagai bentuk protes keras. Termasuk juga memanggil duta besar Indonesia untuk Myanmar.
Kedua, Pemerintah dapat mendorong PBB maupun ASEAN untuk membentuk tim khusus untuk melakukan pencarian fakta sekaligus menjadi penjaga kedamaian dan melindungi kelompok minoritas muslim di Rohingya. Apalagi, telah ada kelompok Militan Tentara Penyelemat Rohingya Arakan (ARSA) yang melakukan perlawanan ke militer Myanmar, sehingga jika dibiarkan berkonflik, maka akan semakin membuat rumit konflik di Rohingya, sementara warga muslim biasa hanya akan menjadi korban.
Ketiga Pemerintah dapat mendorong komunitas internasional khususnya ASEAN untuk mengembargo Myanmar baik secara diplomatik maupun ekonomi. Embargo tersebut lazim diterapkan untuk menekan negara yang melakukan kejahatan kemanusiaan.
Selain itu, politisi PKS tersebut juga mendorong agar lembaga pemberi Nobel di Oslo Norwegia, mengevaluasi kembali bahkan mencabut pemberian hadiah Nobel perdamaian kepada tokoh Myanmar, Aung San Suu Kyi yang diam saja atas pelanggaran HAM di Rohingya. Diamnya Aung San Suu Kyi dinilai sebagai bentuk persetujuannya atas pembantaian di Rohingya.(Red/Rls)