MAUNGDAW, MYANMAR,LENTERAJABAR.COM - Maungdaw
lagi-lagi dalam keadaan genting. Jumat dini hari lalu (25/8), bentrokan
hebat antara militer Myanmar dan gerilyawan Rohingya terjadi di bagian
utara Maungdaw, Negara Bagian Rakhine, Myanmar. Peristiwa tersebut
menewaskan setidaknya 77 Muslim Rohingya dan 12 anggota militer Myanmar.
Angka kematian ini dirilis oleh kantor Penasihat Negara Myanmar Aung
San Suu Kyi, Sabtu (26/8).
Dengan
kondisi kamp yang serba terbatas, mereka akan berjuang bertahan. Status
pengungsi akan disandang, sambil menyambut Idul Adha―yang jatuh pada
pekan depan―dalam keterbatasan.
source: Dyah Sulistiowati
Sebelumnya
dilaporkan bahwa sebanyak 150 gerilyawan Rohingya melakukan serangan di
lebih dari 20 pos keamanan pada pukul 01.00 waktu setempat. Ketegangan
berlanjut ketika militer Myanmar di lokasi memberikan serangan balasan.
Letupan senjata dan suara ledakan bom bahkan terdengar hingga ke
pemukiman warga di sekitar tempat kejadian.
“Sampai
saat ini kami bahkan masih mendengar suara dentuman senjata. Kami tidak
berani untuk keluar rumah,” kata salah satu warga pada Jumat dini hari
lalu, seperti dilansir dari kantor berita AFP.
Padahal,
sehari sebelumnya, Mantan Sekjen PBB Kofi Annan baru saja menggulirkan
hasil laporan penelitian timnya menyangkut solusi jangka panjang bagi
Pemerintah Myanmar terkait konflik antaretnis di negara tersebut.
“Myanmar
harus mencabut pembatasan pergerakan dan kewarganegaraan untuk
minoritas Muslim Rohingya yang terniaya. Ini jika mereka ingin
menghindari konflik yang lebih jauh dan membawa perdamaian ke negara
bagian Rakhine,” papar Kofi Annan, Kamis (24/8).
Dalam
sebulan terakhir ini, konflik memang kembali memanas di Negara Bagian
Rakhine. Berbagai bentuk kekerasan terus menyasar Muslim Rohingya di
beberapa desa yang tersebar di Maungdaw, Buthidaung, dan Rathedaung.
Kekerasan paling parah dialami oleh sejumlah warga Rohingya yang
bermukim di Kota Rathedaung, sekitar 77 km dari Maungdaw.
Beberapa
pekan belakangan, pasukan militer Myanmar dikerahkan secara masif di
Rathedaung. Mereka menjaga pos-pos keamanan yang terus dibangun di
sejumlah desa pelosok. Operasi keamanan secara sporadis dilakukan dengan
dalih penahanan terhadap tersangka militan Rohingya. Namun demikian,
operasi keamanan tersebut kerap kali menindas warga sipil yang tidak
bersalah.
Beberapa desa
di Rathedaung diblokade secara sepihak. Frekuensi aksi brutal terhadap
warga Rohingya, seperti pemukulan, pembunuhan, pemerkosaan, hingga
pembakaran rumah dan lahan pertanian kian meningkat. Dari tindak
kekejaman ini, banyak dari warga Rohingya memilih melarikan diri dari
kediaman mereka. Beberapa dari mereka bersembunyi di hutan-hutan sambil
berharap adanya pertolongan. Namun demikian, ada pula sejumlah warga
yang berusaha melawan. Perlawanan inilah yang diduga menyulut
penyerangan di sejumlah pos keamanan di Rathedaung dan Maungdaw yang
terjadi Jumat dini hari lalu (25/8).
Konflik memanas, 17 ribu Muslim Rohingya bereksodus ke Bangladesh
Pascainsiden
Jumat kemarin, ketegangan nampak memuncak di sejumlah desa di tiga kota
tersebut. Operasi keamanan yang dilancarkan terus menjadi-jadi. Media
lokal menyebutkan, sekira 1000 rumah warga dibumihanguskan oleh militer
Myanmar. Deru tembakan terdengar berkali-kali, menyasar siapa pun warga
Rohingya yang dicurigai bagian dari militan. Akibatnya, jumlah warga
yang tewas tertembak pun bertambah. Hingga kini, masih belum diketahui
banyaknya korban jiwa tersebut.
Horor
yang begitu mengancam memaksa lebih banyak lagi Muslim Rohingya yang
mencari suaka di Bangladesh. Sungai Naf kembali dipenuhi ribuan keluarga
Rohingya yang sudah lelah akan teror dan kekerasan yang menimpa mereka.
Sampai saat ini sekitar 17 ribu warga berbondong-bondong menyeberangi
Sungai Naf menuju Bangladesh, menurut laporan Organisasi Internasional
untuk Migrasi (IOM).
Mitra
Aksi Cepat Tanggap yang tinggal di Bangladesh membenarkan adanya
eksodus warga Rohingya yang baru tiba di Bangladesh. “Di Arakan
(Rakhine), sedang terjadi serangan penembakan kepada Muslim Rohingya.
Lumayan banyak korbannya. Ini yang membuat mereka semua mau tak mau
mengungsi ke Bangladesh,” ungkap Hasan, mitra ACT di Cox’s Bazar,
Bangladesh.
Menurutnya,
pengungsi-pengungsi baru itu kemungkinan akan mencari suaka ke kamp
pengungsian terdekat, yakni Kamp Kutupalong, Cox’s Bazar. Kutupalong
merupakan kamp pengungsian yang telah lama didirikan di Bangladesh.
Kini, kamp tersebut menampung lebih kurang 15 ribu keluarga pengungsi
Rohingya. Namun demikian, kondisi kamp pengungsian tersebut bisa
dibilang paling memprihatinkan dibandingkan dengan kamp-kamp pengungsian
yang lain.
“Kutupalong
itu kan ada kamp resmi dan tidak resminya. Keadaan di kamp tidak resmi
ini yang memprihatinkan. Selain Kutupalong, kemungkinan mereka akan
ditampung di Kamp Balukhali, Cox’s Bazar. Keberadaan kamp ini baru, tapi
sudah ada sekitar 4000 keluarga di sana,” jelas Hasan.
Sejak
konflik menegang di Rakhine Oktober 2016 lalu, sudah lebih dari 80 ribu
Muslim Rohingya yang melarikan diri ke Bangladesh. Jika saat ini krisis
kemanusiaan di Rakhine terus berlanjut, bisa dipastikan puluhan ribu
pengungsi baru akan memadati kamp-kamp pengungsian di Bangladesh.
source: Dyah Sulistiowati