JAKARTA,LENTERAJABAR.COM -Polisi menangkap grup bernama Saracen diduga secara terorganisasi melakukan tindak pidana penyebaran kebencian berbau SARA melalui media online.
Menanggapi hal ini, Sukamta, anggota Komisi I DPR RI, Jumat (25/8) di Jakarta menyatakan, “Upaya Polri dengan Tim Siber-nya untuk menindak para pelaku pembuat dan penyebar konten negatif dan hoax tentu patut diapresiasi dalam rangka mewujudkan internet sehat.
Namun, Saracen hanyalah salah satu organisasi akun anonim dari sekian banyak yang bertumbuh memanfaatkan rendahnya literasi masyarakat. Dalam ajang pemilu atau Pilkada, biasanya semua pendukung dari calon-calon yang ada juga melakukan ujar kebencian atau yang menyinggung SARA. Karena itu, pemerintah harus adil dan tidak tebang pilih dalam menindak para pelaku penyebar konten negatif ini.”
Sekretaris Fraksi PKS ini juga menambahkan bahwa jika momentum ini diharapkan mampu menjadi shock therapy, pemerintah sebaiknya melakukan penindakan terhadap organisasi yang serupa dengan Saracen, yang sangat boleh jadi lebih besar, lebih terorganisasi dan memiliki modal lebih besar. Keberanian Polri untuk mengungkap jaringan-jaringan lainnya tanpa tebang pilih tentu ditunggu masyarakat. Jika ini konsisten dilakukan efek Shock Therapy bisa diharapkan terwujud.
Lebih lanjut, menurut Sukamta, pemerintah harus segera melaksanakan kebijakan yang bersifat makro untuk memutus mata rantai konten negatif dan hoax. Pertama, secara serius melakukan edukasi kepada masyarakat sehingga lebih melek media sosial dan internet sehingga mampu menggunakannya dengan bijak dan produktif. Upaya edukasi ini secara masif dapat dilakukan dengan melibatkan dunia pendidikan, institusi keagamaan dan organisasi masyarakat.
Kedua, untuk melakukan tata kelola konten termasuk menindak kejahatan siber seperti ini kita sudah mempunyai Undang-undang No. 19 tahun 2016 tentang Perubahan UU ITE. Namun spirit perubahan undang-undang ini belum dapat dilaksanakan secara maksimal karena peraturan-peraturan di bawahnya seperti PP, Permen, dst, belum lengkap. Maka dari itu pemerintah harus segera menyiapkannya agar pemberantasan konten negatif di dunia maya dapat berjalan dengan pedoman yang jelas dan terarah.
Upaya pemerintah yang sedang merevisi PP No. 82 tahun 2002 tentang Penyelenggaraan Sistem Transaksi Elektronik perlu diapresiasi, tapi kita sejak awal juga mendesak pemerintah agar segera membuat peraturan-peraturan yang merupakan amanat UU ITE yang lain termasuk soal pemblokiran sistem elektronik yang mengandung konten negatif yang hingga kini juga belum ada PP-nya.
Ketiga, pemerintah perlu membuat aturan yang dapat mengikat kepada provider dan penyedia layanan media sosial untuk melakukan filter terhadap konten negatif dan hoax. Dalam hal ini pemerintah perlu membuat tim panel yang melibatkan MUI, tokoh agama, akademisi dan ahli IT sebagai tim yang dapat memberikan masukan konten negatif mana sajakah yang perlu dihentikan dengan penanganan dari provider dan penyedia jasa media sosial. Keberadaan tim panel ini penting untuk menghindarkan pemerintah melakukan penafsiran secara tunggal.(Red/Rls)
Menanggapi hal ini, Sukamta, anggota Komisi I DPR RI, Jumat (25/8) di Jakarta menyatakan, “Upaya Polri dengan Tim Siber-nya untuk menindak para pelaku pembuat dan penyebar konten negatif dan hoax tentu patut diapresiasi dalam rangka mewujudkan internet sehat.
Namun, Saracen hanyalah salah satu organisasi akun anonim dari sekian banyak yang bertumbuh memanfaatkan rendahnya literasi masyarakat. Dalam ajang pemilu atau Pilkada, biasanya semua pendukung dari calon-calon yang ada juga melakukan ujar kebencian atau yang menyinggung SARA. Karena itu, pemerintah harus adil dan tidak tebang pilih dalam menindak para pelaku penyebar konten negatif ini.”
Sekretaris Fraksi PKS ini juga menambahkan bahwa jika momentum ini diharapkan mampu menjadi shock therapy, pemerintah sebaiknya melakukan penindakan terhadap organisasi yang serupa dengan Saracen, yang sangat boleh jadi lebih besar, lebih terorganisasi dan memiliki modal lebih besar. Keberanian Polri untuk mengungkap jaringan-jaringan lainnya tanpa tebang pilih tentu ditunggu masyarakat. Jika ini konsisten dilakukan efek Shock Therapy bisa diharapkan terwujud.
Lebih lanjut, menurut Sukamta, pemerintah harus segera melaksanakan kebijakan yang bersifat makro untuk memutus mata rantai konten negatif dan hoax. Pertama, secara serius melakukan edukasi kepada masyarakat sehingga lebih melek media sosial dan internet sehingga mampu menggunakannya dengan bijak dan produktif. Upaya edukasi ini secara masif dapat dilakukan dengan melibatkan dunia pendidikan, institusi keagamaan dan organisasi masyarakat.
Kedua, untuk melakukan tata kelola konten termasuk menindak kejahatan siber seperti ini kita sudah mempunyai Undang-undang No. 19 tahun 2016 tentang Perubahan UU ITE. Namun spirit perubahan undang-undang ini belum dapat dilaksanakan secara maksimal karena peraturan-peraturan di bawahnya seperti PP, Permen, dst, belum lengkap. Maka dari itu pemerintah harus segera menyiapkannya agar pemberantasan konten negatif di dunia maya dapat berjalan dengan pedoman yang jelas dan terarah.
Upaya pemerintah yang sedang merevisi PP No. 82 tahun 2002 tentang Penyelenggaraan Sistem Transaksi Elektronik perlu diapresiasi, tapi kita sejak awal juga mendesak pemerintah agar segera membuat peraturan-peraturan yang merupakan amanat UU ITE yang lain termasuk soal pemblokiran sistem elektronik yang mengandung konten negatif yang hingga kini juga belum ada PP-nya.
Ketiga, pemerintah perlu membuat aturan yang dapat mengikat kepada provider dan penyedia layanan media sosial untuk melakukan filter terhadap konten negatif dan hoax. Dalam hal ini pemerintah perlu membuat tim panel yang melibatkan MUI, tokoh agama, akademisi dan ahli IT sebagai tim yang dapat memberikan masukan konten negatif mana sajakah yang perlu dihentikan dengan penanganan dari provider dan penyedia jasa media sosial. Keberadaan tim panel ini penting untuk menghindarkan pemerintah melakukan penafsiran secara tunggal.(Red/Rls)