BANDUNG,LENTERAJABAR.COM-Banjir bandang yang melanda kawasan jatihandap,kecamatan Mandalajati Cicaheum kota Bandung,Selasa sore kemarin mengakibatkan banyak fasilitas mengalami kerusakan.
Berdasarkan pengamatan Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Kota Bandung menemukan ada sembilan titik tanggul jebol di Kawasan Jatihandap yang menyebabkan banjir besar di wilayah tersebut. Sebagai solusi jangka pendek maka mempersiapkan bronjong batu dan karung pasir untuk menutup bagian tanggul yang rusak tersebut.
Kepala DPU Kota Bandung, Arief Prasetya mengatakan,"penyebab tanggul jebol tersebut karena aliran air yang deras, sejauh ini laporan yang kami terima ada 9 titik. Tapi akan kami survey terus sehingga ada hitung-hitungan pasti dalam menentukan berapa bahan yang harus dipersiapkan untuk memperbaiki tanggulnya," terangnya kepada wartawan dikantor, Jln. Sukabumi, Kota Bandung, Rabu (21/3/2018).
Lebih lanjut dikatakannya,hitungan pasti dibutuhkan agar persoalan tanggul di wilayah tersebut dapat diselesaikan. Sehingga dapat menbangun kembali bagian yang sudah rusak dengan yang lebih baik dan kuat.
Menurut Arief kawasan lain yang cukup parah diterjang banjir bandang yakni Terminal Cicaheum dan sekitarnya, dimana banjir yang terjadi merupakan kiriman dari wilayah yang lebih atas. Ditambah dengan curah hujan yang terjadi sekitar 42 mm/menit yang akhirnya menyebabkan banjir bandang.
Disinggung semakin banyak tanggul yang jebol, lanjutnya, hal tersebut tidak lepas dari kesadaran masyarakat. Pasalnya masih banyak yang membangun rumah di bibir sungai, padahal seharusnya jarak minimal dengan bangunan yakni tiga mete.
Diakuinya, hal tersebut memberikan dampak yang signifikan kepada ketahanan dari bibir sungai terutama ketika terjadi hujan deras yang menyebabkan air cepat tinggi. Lebih jauh hal tersebut banyak ditemukan ketika memasuki kawasan pinggiran atau kumuh.
"Minimal lebar dari saluran air itu minimal 6 meter dan tinggi antara 8-12 meter, tapi malah semakin mengecil dengan pembangunan yang dilakukan. Tapi ketika terjadi banjir dan merusak bangunan mereka kenapa malah bertanya ke kami," tuturnya.
Arief menerangkan, bangunan yang berada di bibir sungai tidak memiliki izin karena melanggar peraturan. Bahkan pihaknya bersama dengan Satpol PP Kota Bandung, Dinas Tata Ruang (Distaru) Kota Bandung dan aparat kewilayahan, terus berupaya melakukan pengendalian untuk bangunan tersebut.
Selain itu, pihaknya juga akan berkoordinasi dengan kota dan kabupaten di sekitar Kota Bandung dalam memantau banjir karena pada dasarnya bukan hanya permasalahan di Kota Bandung saja.
"Tentu tidak mudah berkoordinasi antar wilayah sehingga akan berkomunikasi juga dengan pihak provinsi. Tapi kita terus memperkuat dan meninggikan tanggul, mengeruk sedimentasi termasuk mendesaian ulang tata kelola air di Kota Bandung," jelasnya.
Pihaknya mengimbau masyarakat untuk menjaga dan melestarikan lingkungan, dengan tidak membuang sampah sembarangan maupun mendirikan bangunan di bantaran sungai.
"Kami berharap masyarakat dapat menjadi sahabat lingkungan dengan tidak merusak alam. Karena dampak akibat hal tersebut akan merugikan semua pihak," pungkasnya.(Red)
Kepala DPU Kota Bandung, Arief Prasetya mengatakan,"penyebab tanggul jebol tersebut karena aliran air yang deras, sejauh ini laporan yang kami terima ada 9 titik. Tapi akan kami survey terus sehingga ada hitung-hitungan pasti dalam menentukan berapa bahan yang harus dipersiapkan untuk memperbaiki tanggulnya," terangnya kepada wartawan dikantor, Jln. Sukabumi, Kota Bandung, Rabu (21/3/2018).
Lebih lanjut dikatakannya,hitungan pasti dibutuhkan agar persoalan tanggul di wilayah tersebut dapat diselesaikan. Sehingga dapat menbangun kembali bagian yang sudah rusak dengan yang lebih baik dan kuat.
Menurut Arief kawasan lain yang cukup parah diterjang banjir bandang yakni Terminal Cicaheum dan sekitarnya, dimana banjir yang terjadi merupakan kiriman dari wilayah yang lebih atas. Ditambah dengan curah hujan yang terjadi sekitar 42 mm/menit yang akhirnya menyebabkan banjir bandang.
Disinggung semakin banyak tanggul yang jebol, lanjutnya, hal tersebut tidak lepas dari kesadaran masyarakat. Pasalnya masih banyak yang membangun rumah di bibir sungai, padahal seharusnya jarak minimal dengan bangunan yakni tiga mete.
Diakuinya, hal tersebut memberikan dampak yang signifikan kepada ketahanan dari bibir sungai terutama ketika terjadi hujan deras yang menyebabkan air cepat tinggi. Lebih jauh hal tersebut banyak ditemukan ketika memasuki kawasan pinggiran atau kumuh.
"Minimal lebar dari saluran air itu minimal 6 meter dan tinggi antara 8-12 meter, tapi malah semakin mengecil dengan pembangunan yang dilakukan. Tapi ketika terjadi banjir dan merusak bangunan mereka kenapa malah bertanya ke kami," tuturnya.
Arief menerangkan, bangunan yang berada di bibir sungai tidak memiliki izin karena melanggar peraturan. Bahkan pihaknya bersama dengan Satpol PP Kota Bandung, Dinas Tata Ruang (Distaru) Kota Bandung dan aparat kewilayahan, terus berupaya melakukan pengendalian untuk bangunan tersebut.
Selain itu, pihaknya juga akan berkoordinasi dengan kota dan kabupaten di sekitar Kota Bandung dalam memantau banjir karena pada dasarnya bukan hanya permasalahan di Kota Bandung saja.
"Tentu tidak mudah berkoordinasi antar wilayah sehingga akan berkomunikasi juga dengan pihak provinsi. Tapi kita terus memperkuat dan meninggikan tanggul, mengeruk sedimentasi termasuk mendesaian ulang tata kelola air di Kota Bandung," jelasnya.
Pihaknya mengimbau masyarakat untuk menjaga dan melestarikan lingkungan, dengan tidak membuang sampah sembarangan maupun mendirikan bangunan di bantaran sungai.
"Kami berharap masyarakat dapat menjadi sahabat lingkungan dengan tidak merusak alam. Karena dampak akibat hal tersebut akan merugikan semua pihak," pungkasnya.(Red)