JAKARTA,LENTERAJABAR.COM-Anggota Komisi XI Fraksi PKS, Ecky Awal Mucharram, memberikan perhatian serius terhadap perkembangan nilai tukar Rupiah saat ini. "Nilai Rupiah yang anjlok signifikan akan berbahaya bagi perekonomian. Instabilitas mata uang akan memengaruhi pemerintah, dunia usaha, investor, dan sektor keuangan. Ujungnya akan terekam pada pertumbuhan ekonomi. Target pemerintah menggenjot pertumbuhan sebesar 5,4 persen hampir mustahil tercapai.” Hal ini disampaikan Ecky kepada wartawan di Jakarta, Jumat,( 6 /7/2018).
Sebagaimana diketahui, nilai tukar Rupiah terhadap USD telah meleset jauh dari target APBN 2018 sebesar Rp 13.400. Saat ini, USD telah mendekati angka Rp14.500. Level tersebut berselisih hingga Rp 1.100 dari asumsi APBN 2018.
Ecky menjelaskan, “Bagi pemerintah, depresiasi Rupiah akan memengaruhi postur APBN yang sudah ditetapkan sebelumnya. Akan ada perubahan pada banyak pos, terutama pada pembayaran bunga utang. Saat ini saja, bunga utang sudah mencakup 10 persen dari belanja pemerintah pusat. Tentu akan melonjak jika Rupiah jatuh. Sebetulnya hal ini sudah mulai terasa sejak tahun lalu, yang diperparah juga dengan lonjakan belanja subsidi BBM. Hal ini akan berdampak pada defisit anggaran yang melebar dengan menambah utang atau memotong belanja.”
“Dari sisi dunia usaha pelemahan menyebabkan mereka menahan belanja modal dan barang. Biaya impor industri turut melambung terutama pada bahan baku/penolong atau modal. Ini akan merubah rencana bisnis mereka termasuk mengurangi jumlah karyawan. Dampaknya dari sisi suplai, output ekonomi akan lebih rendah dari seharusnya. Begitu juga di sisi demand, inflasi yang dipacu impor akan melemahkan daya beli.”
"Sementara dampak positif depresiasi Rupiah terhadap ekspor rasanya tidak akan terlalu signifikan. Yang dapat menikmati windfall profit hanya eksportir komoditas mentah, yang sebetulnya harganya pun lebih dibentuk oleh pasar internasional. Sementara eksportir berbasis industri manufaktur tidak akan menikmati pelemahan rupiah ini, karena hampir 80 persen impor kita adalah bahan baku atau bahan penolong industri" ujar Aleg asal Jabar ini.
Ecky menambahkan, “Bagi sektor keuangan, depresiasi Rupiah akan menekan pembiayaan valas dan meningkatkan eksposur risiko valas khususnya bagi pinjaman asing yang tidak ter-hedging (lindung nilai), sedangkan hedging itu memerlukan biaya. Ini meningkatkan risiko default (gagal bayar) dari debitur yang diperparah kelesuan kegiatan di sektor riil itu sendiri. Sementara BI dengan bauran kebijakan moneter-nya sudah dan mungkin akan menaikan lagi suku bunga acuan untuk menahan capital outflow. Bunga yang mahal tentu saja akan membuat pengusaha menahan kegiatan usahanya. Dalam situasi ini stabilitas menjadi prioritas di atas pertumbuhan”
“Miris memang melihat kondisi kita yang ibarat sampan terombang-ambing dalam ombak besar. Struktur perekonomian yang rapuh menyebabkan kita tidak bisa melaju kencang hanya karena satu kebijakan The Fed yang menaikan bunganya. Sekedar selamat tidak tersapu gelombang pun sudah bersyukur. Ekonomi kita tersandera oleh asing. Struktur utang dan pasar modal yang didominasi asing. Jadi mereka gampang saja lari jika terjadi goncangan kecil saja atau ada investasi yang lebih menarik, baik dalam imbal hasil maupun likuiditas. Energi dan bahan baku pun kita harus impor. Jadi, persoalan nilai tukar berakar pada masalah-masalah struktural di sektor rill, sehingga tidak akan begitu efektif jika hanya direspon oleh kebijakan moneter." tutup Ecky.(Red)
Sebagaimana diketahui, nilai tukar Rupiah terhadap USD telah meleset jauh dari target APBN 2018 sebesar Rp 13.400. Saat ini, USD telah mendekati angka Rp14.500. Level tersebut berselisih hingga Rp 1.100 dari asumsi APBN 2018.
Ecky menjelaskan, “Bagi pemerintah, depresiasi Rupiah akan memengaruhi postur APBN yang sudah ditetapkan sebelumnya. Akan ada perubahan pada banyak pos, terutama pada pembayaran bunga utang. Saat ini saja, bunga utang sudah mencakup 10 persen dari belanja pemerintah pusat. Tentu akan melonjak jika Rupiah jatuh. Sebetulnya hal ini sudah mulai terasa sejak tahun lalu, yang diperparah juga dengan lonjakan belanja subsidi BBM. Hal ini akan berdampak pada defisit anggaran yang melebar dengan menambah utang atau memotong belanja.”
“Dari sisi dunia usaha pelemahan menyebabkan mereka menahan belanja modal dan barang. Biaya impor industri turut melambung terutama pada bahan baku/penolong atau modal. Ini akan merubah rencana bisnis mereka termasuk mengurangi jumlah karyawan. Dampaknya dari sisi suplai, output ekonomi akan lebih rendah dari seharusnya. Begitu juga di sisi demand, inflasi yang dipacu impor akan melemahkan daya beli.”
"Sementara dampak positif depresiasi Rupiah terhadap ekspor rasanya tidak akan terlalu signifikan. Yang dapat menikmati windfall profit hanya eksportir komoditas mentah, yang sebetulnya harganya pun lebih dibentuk oleh pasar internasional. Sementara eksportir berbasis industri manufaktur tidak akan menikmati pelemahan rupiah ini, karena hampir 80 persen impor kita adalah bahan baku atau bahan penolong industri" ujar Aleg asal Jabar ini.
Ecky menambahkan, “Bagi sektor keuangan, depresiasi Rupiah akan menekan pembiayaan valas dan meningkatkan eksposur risiko valas khususnya bagi pinjaman asing yang tidak ter-hedging (lindung nilai), sedangkan hedging itu memerlukan biaya. Ini meningkatkan risiko default (gagal bayar) dari debitur yang diperparah kelesuan kegiatan di sektor riil itu sendiri. Sementara BI dengan bauran kebijakan moneter-nya sudah dan mungkin akan menaikan lagi suku bunga acuan untuk menahan capital outflow. Bunga yang mahal tentu saja akan membuat pengusaha menahan kegiatan usahanya. Dalam situasi ini stabilitas menjadi prioritas di atas pertumbuhan”
“Miris memang melihat kondisi kita yang ibarat sampan terombang-ambing dalam ombak besar. Struktur perekonomian yang rapuh menyebabkan kita tidak bisa melaju kencang hanya karena satu kebijakan The Fed yang menaikan bunganya. Sekedar selamat tidak tersapu gelombang pun sudah bersyukur. Ekonomi kita tersandera oleh asing. Struktur utang dan pasar modal yang didominasi asing. Jadi mereka gampang saja lari jika terjadi goncangan kecil saja atau ada investasi yang lebih menarik, baik dalam imbal hasil maupun likuiditas. Energi dan bahan baku pun kita harus impor. Jadi, persoalan nilai tukar berakar pada masalah-masalah struktural di sektor rill, sehingga tidak akan begitu efektif jika hanya direspon oleh kebijakan moneter." tutup Ecky.(Red)