BANDUNG,LENTERAJABAR.COM-Pemerintah Provinsi memilki peran strategis untuk memastikan proses pembuatan kebijakan di daerah telah mengikuti peraturan dan perundang-undangan dan sesuai dengan tata kelola pemerintahan yang baik dan inklusif. Hal itu berlaku untuk peraturan daerah terkait Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Saat ini, banyak aturan KTR eksesif yang tertuang dalam peraturan daerah, termasuk terkait tempat khusus merokok.
Aturan ini bertentangan dengan aturan di atasnya, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) 109 tahun 2012. Secara hierarki hukum, peraturan pemerintah berada di atas peraturan daerah. Maka dari itu, peraturan daerah tidak boleh bertentangan dengan peraturan pemerintah.
Hal itu terungkap dalam Media Diskusi Kawasan Tanpa Asap Rokok: Menyoal Kawasan Tanpa Rokok, Mengatur dan Bukan Menyingkirkan” yang digelar di Gedung Indonesia Menggugat, Jalan Perintis Kemerdekaan,kota Bandung, Selasa (31/7).
Sementara anggota DPRD Jabar Gatot Tjahyono mengatakan, pemerintah tentu sudah melakukan kajian untuk melahirkan PP 109/2012. Aturan ini prinsipnya bukan melarang merokok, melainkan pengaturan terhadap rokok. Contohnya, pengaturan tentang kawasan untuk merokok dan kawasan tanpa rokok.
“Dalam konteks peraturan daerah, mengacu pada peraturan yang lebih tinggi, misalnya peraturan pemerintah, peraturan menteri, undang-undang. Harus mengacu sehingga menjadi satu kesatuan,” katanya.
Gatot mengaku tidak membidangi komisi yang terkait rokok. Namun secara umum, pembuatan peraturan daerah ialah mengacu pada aturan yang lebih tinggi. Pemerintah Provinsi Jabar sendiri belum mengatur soal rokok, yang ada adalah di kabupaten/kota.
Sedangkan munculnya perda yang merupakan turunan dari aturan yang lebih tinggi (PP/UU), bisa muncul dari eksekutif maupun usulan DPRD. Bisa juga perda tersebut diusulkan berdasarkan pertimbangan masyarakat luas, akademisi, asosiasi dan seterusnya.
Namun Gatot sepakat jika masalah rokok ini sebaiknya disikapi dengan upaya peningkatan kesadaran masyarakat, tanpa harus melalui perda.“Hal seperti ini jadi contoh bukan soal perda atau aturan tapi bagaimana kesadaran masyarakat. Terlalu banyak perda yang dihanguskan Menteri Dalam Negeri karena bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi di atasnya,” katanya.
Menurutnya, perda yang dinilai bertentangan dengan peraturan di atasnya terutama perda yang menimbulkan gejolak di masyarakat, menimbulkan biaya tinggi, mengganggu pada perizinan.
Ia menyatakan, tidak menutup kemungkinan perda Kawasan tanpa rokok bertentangan dengan
peraturan yang lebih tinggi. Hal ini akan dipantau Menteri Dalam Negeri.
“Sekarang ini trennya pemerintah justru mengurangi perda dan perizinan. Tren lainnya kita lebih mengedepankan pola hidup sehat, kesehatan mahal, dan lain-lain yang menumbuhkan kesadaran,” katanya.
Sementara itu, Hananto Wibisono dari Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) mengatakan, regulasi dipandang sebagai salah satu aspek penting dalam masyarakat yang bertujuan untuk merealisasikan terbentuknya sebuah masyarakat yang nyaman dan berkeadilan. Tetapi, terkadang hal ini tidak diindahkan keberadaannya oleh sebagian orang. Tidak jarang hukum itu diciderai, dilanggar, bahkan dimanipulasi fungsinya oleh orang yang memang mempunyai kepentingan.
“Idealnya setiap peraturan, termasuk Perda, lebih bersifat mengatur, bukan sekedar melarang atau menghukum Peraturan harus memenuhi rasa keadilan bagi semua pihak. Arti penting pengaturan dalam hal ini agar semua pihak (baik yang kontra maupun pro rokok) dapat menjalani hidup secara wajar dan tidak terganggu hak-haknya sebagai warga negara,” kata Hananto.
Ia mengatakan, tidak dapat dipungkiri bahwa Industri Hasil Tembakau (IHT) merupakan bagian besar yang menopang perekonomian Indonesia dimana IHT menyerap tenaga kerja lebih dari 6 juta orang mulai dari hulu hingga hilir. Selain itu, target penerimaan cukai tahun 2018 telah ditetapkan sebesar Rp155,4 triliun dengan Cukai Hasil Tembakau (CHT) sebagai penopang terbesar di angka Rp 148,23 triliun atau naik 0,5 persen dibanding APBN-P 2017 sebesar Rp147,49 triliun.
Menurutnya, Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi penghasil tembakau yang penting dan sebagian diekspor. Perkebunan tembakau tersebar di 14 kabupaten/kota, dengan total produksi rata-rata 20.000 ton/tahun. Garut sebagai kabupaten terluas lahannya dengan jumlah petani sebanyak 9.795 orang, diikuti Kabupaten Sumedang dengan 9.706 petani. Sedangkan di sector cengkeh, di Jawa Barat luas lahan perkebunan cengkeh adalah seluar 32.450 Ha dengan jumlah produksi sebanyak 6.698 ton. Selain itu, tercatat pula 3.000 pekerja pada industri rokok di Jawa Barat.
“Pemerintah Provinsi Jawa Barat diharapkan dapat membuat peraturan yang adil dan berimbang bagi seluruh pemangku kepentingan, serta tidak ada diskriminasi dalam hal kesempatan bagi setiap warga untuk memiliki hak yang sama,” katanya.
Ia menambahkan, Perda KTR menjadi wujud solusi yang bijaksana atas pengaturan aktivitas konsumsi rokok sebagai produk yang legal, dan aktivitas perlindungan terhadap non-perokok.
“Dengan tersedianya tempat khusus merokok, maka kegiatan merokok dilakukan pada tempat yang telah disediakan dan mengurangi dampaknya bagi non perokok. Perda KTR yang sejalan dengan UU Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012,” katanya.(Ari/Red)
Aturan ini bertentangan dengan aturan di atasnya, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) 109 tahun 2012. Secara hierarki hukum, peraturan pemerintah berada di atas peraturan daerah. Maka dari itu, peraturan daerah tidak boleh bertentangan dengan peraturan pemerintah.
Hal itu terungkap dalam Media Diskusi Kawasan Tanpa Asap Rokok: Menyoal Kawasan Tanpa Rokok, Mengatur dan Bukan Menyingkirkan” yang digelar di Gedung Indonesia Menggugat, Jalan Perintis Kemerdekaan,kota Bandung, Selasa (31/7).
Sementara anggota DPRD Jabar Gatot Tjahyono mengatakan, pemerintah tentu sudah melakukan kajian untuk melahirkan PP 109/2012. Aturan ini prinsipnya bukan melarang merokok, melainkan pengaturan terhadap rokok. Contohnya, pengaturan tentang kawasan untuk merokok dan kawasan tanpa rokok.
“Dalam konteks peraturan daerah, mengacu pada peraturan yang lebih tinggi, misalnya peraturan pemerintah, peraturan menteri, undang-undang. Harus mengacu sehingga menjadi satu kesatuan,” katanya.
Gatot mengaku tidak membidangi komisi yang terkait rokok. Namun secara umum, pembuatan peraturan daerah ialah mengacu pada aturan yang lebih tinggi. Pemerintah Provinsi Jabar sendiri belum mengatur soal rokok, yang ada adalah di kabupaten/kota.
Sedangkan munculnya perda yang merupakan turunan dari aturan yang lebih tinggi (PP/UU), bisa muncul dari eksekutif maupun usulan DPRD. Bisa juga perda tersebut diusulkan berdasarkan pertimbangan masyarakat luas, akademisi, asosiasi dan seterusnya.
Namun Gatot sepakat jika masalah rokok ini sebaiknya disikapi dengan upaya peningkatan kesadaran masyarakat, tanpa harus melalui perda.“Hal seperti ini jadi contoh bukan soal perda atau aturan tapi bagaimana kesadaran masyarakat. Terlalu banyak perda yang dihanguskan Menteri Dalam Negeri karena bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi di atasnya,” katanya.
Menurutnya, perda yang dinilai bertentangan dengan peraturan di atasnya terutama perda yang menimbulkan gejolak di masyarakat, menimbulkan biaya tinggi, mengganggu pada perizinan.
Ia menyatakan, tidak menutup kemungkinan perda Kawasan tanpa rokok bertentangan dengan
peraturan yang lebih tinggi. Hal ini akan dipantau Menteri Dalam Negeri.
“Sekarang ini trennya pemerintah justru mengurangi perda dan perizinan. Tren lainnya kita lebih mengedepankan pola hidup sehat, kesehatan mahal, dan lain-lain yang menumbuhkan kesadaran,” katanya.
Sementara itu, Hananto Wibisono dari Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) mengatakan, regulasi dipandang sebagai salah satu aspek penting dalam masyarakat yang bertujuan untuk merealisasikan terbentuknya sebuah masyarakat yang nyaman dan berkeadilan. Tetapi, terkadang hal ini tidak diindahkan keberadaannya oleh sebagian orang. Tidak jarang hukum itu diciderai, dilanggar, bahkan dimanipulasi fungsinya oleh orang yang memang mempunyai kepentingan.
“Idealnya setiap peraturan, termasuk Perda, lebih bersifat mengatur, bukan sekedar melarang atau menghukum Peraturan harus memenuhi rasa keadilan bagi semua pihak. Arti penting pengaturan dalam hal ini agar semua pihak (baik yang kontra maupun pro rokok) dapat menjalani hidup secara wajar dan tidak terganggu hak-haknya sebagai warga negara,” kata Hananto.
Ia mengatakan, tidak dapat dipungkiri bahwa Industri Hasil Tembakau (IHT) merupakan bagian besar yang menopang perekonomian Indonesia dimana IHT menyerap tenaga kerja lebih dari 6 juta orang mulai dari hulu hingga hilir. Selain itu, target penerimaan cukai tahun 2018 telah ditetapkan sebesar Rp155,4 triliun dengan Cukai Hasil Tembakau (CHT) sebagai penopang terbesar di angka Rp 148,23 triliun atau naik 0,5 persen dibanding APBN-P 2017 sebesar Rp147,49 triliun.
Menurutnya, Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi penghasil tembakau yang penting dan sebagian diekspor. Perkebunan tembakau tersebar di 14 kabupaten/kota, dengan total produksi rata-rata 20.000 ton/tahun. Garut sebagai kabupaten terluas lahannya dengan jumlah petani sebanyak 9.795 orang, diikuti Kabupaten Sumedang dengan 9.706 petani. Sedangkan di sector cengkeh, di Jawa Barat luas lahan perkebunan cengkeh adalah seluar 32.450 Ha dengan jumlah produksi sebanyak 6.698 ton. Selain itu, tercatat pula 3.000 pekerja pada industri rokok di Jawa Barat.
“Pemerintah Provinsi Jawa Barat diharapkan dapat membuat peraturan yang adil dan berimbang bagi seluruh pemangku kepentingan, serta tidak ada diskriminasi dalam hal kesempatan bagi setiap warga untuk memiliki hak yang sama,” katanya.
Ia menambahkan, Perda KTR menjadi wujud solusi yang bijaksana atas pengaturan aktivitas konsumsi rokok sebagai produk yang legal, dan aktivitas perlindungan terhadap non-perokok.
“Dengan tersedianya tempat khusus merokok, maka kegiatan merokok dilakukan pada tempat yang telah disediakan dan mengurangi dampaknya bagi non perokok. Perda KTR yang sejalan dengan UU Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012,” katanya.(Ari/Red)