BANDUNG, LENTERAJABAR.COM -- Bandung tempo dulu hadir sebagai
panggung karya dari banyak arsitek kenamaan Eropa, seperti Charles Prosper
Wolff Schoemaker maupun Albert Frederik Aalbers. Tidak heran jika kemudian
Bandung dikaruniai oleh begitu banyak bangunan klasik bergaya art deco.
Gedung bank bjb syariah yang
berada di Jalan Braga bisa dijadikan contoh. Geledah sejarah gedung bank bjb
syariah, dimulai sejak wacana pemindahan ibu kota dari Batavia (kini Jakarta)
ke Bandung mencuat pada akhir tahun 1920.
Pemerintah Hindia Belanda
kemudian merealisasikan rencana tersebut dengan membangun Gouvernements
Bedrijven (kini Gedung Sate). Namun, agenda pembangunan tidak hanya menjadi
milik pemerintah. Pihak swasta juga dibuat sibuk dengan rencananya membangun
kantor cabang, salah satunya perusahaan minyak bernama NV Oliefabrieken
Insulinde.
Rencana ekspansi Oliefabrieken
Insulinde terealisasi pada tahun 1917. Gedung baru bernama Insulinde mulai
dirancang. Tidak tanggung, Oliefabrieken Insulinde menggandeng salah satu dari
tiga arsitek paling berpengaruh di Hindia Belanda ketika itu, Schoemaker.
Schoemaker bukanlah arsitek
kemarin sore. Tidak bisa dipungkiri bahwa wajah Bandung hari ini, sedikit
banyak berasal dari ide Schoemaker. Beberapa karyanya yang masih menghiasi
Bandung hingga kini, di antaranya Gedung Merdeka, Landmark, Gereja Bethel,
Observatorium Bosscha, Holet Preanger, Villa Isola, Masjid Cipaganti, dan
Penjara Sukamiskin.
Pada awal pendiriannya, gedung
Insulinde berukuran setengah lebih kecil dari yang terlihat saat ini. Terdapat
satu menara yang berada di bagian selatan. Namun, pada tahun 1927, Pemkot
Bandung yang ketika itu disebut Gemeente Bandoeng membeli gedung Insulinde dan
mengubah bentuk bangunan.
Gedung Insulinde diperluas, tapi
tetap mengikuti pakem arsitektur semula. Alhasil, bentuk bangunan menjadi
simetris dengan dua menara di bagian utara dan selatan. Pembangunan tersebut
membuat gedung Insulinde terlihat semakin cantik dan mewah.
Cerita minor hadir ketika Jepang
mulai menduduki Indonesia. Pasalnya, dari tahun 1942 hingga 1945, gedung
Insulinde beralih fungsi menjadi markas tentara negeri Matahari Terbit. Setelah
Jepang dinyatakan kalah, gedung Insulinde didiami oleh tentara Belanda dan Sekutu
hingga 1949.
Pasca agresi militer Belanda,
gedung Insulinde digunakan sebagai Markas Polisi Daerah (Mapolda) Jawa Barat
hingga akhir tahun 1980, sebelum akhirnya pindah ke Gede Bage. Peninggalan
militer terlihat jelas melalui keberadaan dua bangunan pos penjaga di halaman
gedung.
Semenjak itu, nasib gedung yang
berada dekat dengan Bank Indonesia tersebut seperti tidak menentu. Dibiarkan
kosong tidak digunakan dan sempat akan dihancurkan karena adanya rencana
pembangunan sebuah hotel, meski akhirnya urung dilakukan lantaran hadir banyak
protes dari masyarakat.
Hingga akhirnya bank bjb syariah
'menyelamatkan' gedung dengan status benda cagar budaya golongan kelas A
tersebut dan menjadikannya sebagai kantor pusat, setelah sebelumnya lebih dulu
digunakan sebagai factory outlet pada tahun 2005.
Sejatinya, bank bjb syariah tidak
mengubah tekstur dan bentuk bangunan sama sekali. Hal tersebut merupakan bagian
dari upaya untuk tetap melestarikan orisinalitas gedung dan nilai sejarah.
Dominasi warna putih tetap dipertahankan, dengan sedikit sentuhan merah yang
merupakan corporate color bank bjb syariah.
"Kami melakukan perawatan
khusus dan rutin dari tim operasional untuk menjaga fisik gedung. Tidak akan
pernah kami ubah bentuknya sesuai ketentuan pemerintah karena ini bangunan
heritage. Jadi masyarakat masih bisa menikmati sejarah," ujar Direktur
Utama bank bjb syariah, Indra Falatehan, belum lama ini.
Apa yang dilakukan bank bjb
syariah, sebenarnya sesuai dengan tiga pendekatan yang tengah dilakukan United
Nations Educational Scientific and Cultural Organization (Unesco) perihal
pelestarian cagar budaya. Pertama, cagar budaya diharapkan dapat memberikan
nilai pengetahuan pada wisatawan sehingga menciptakan kesadaran dan rasa hormat
pada keberadaan sejarah.
Kedua, tidak diperkenankan bagi
wisatawan untuk merusak cagar budaya baik secara fisik maupun nonfisik.
Sedangkan ketiga, cagar budaya harus memberikan manfaat secara ekonomi bagi
masyarakat, salah satu caranya dengan menggunakannya sebagai bangunan produktif.
Artinya, cagar budaya bukan hanya
berfungsi sebagai hiasan kota untuk mengenang romantisme masa lalu. Pemanfaatan
oleh masyarakat secara ekonomi perlu dilakukan, misalnya dengan menjadikannya
sebagai akomodasi penginapan, fasilitas wisata, hingga kantor.
"Ketika ekonomi masyarakat
meningkat maka dengan sendirinya cagar budaya akan dijaga seperti apa yang
terjadi di Eropa. Sedangkan kini, cagar budaya di Bandung hanya menjadi
pajangan," ujar Vice President International Council on Monuments and Sites
Indonesia, Dicky Soeria Atmadja, beberapa waktu lalu.
Padahal, peraturan terkait cagar
budaya yang dimiliki Indonesia jauh lebih ketat ketimbang regulasi serupa di
beberapa negara Eropa. Namun pengetatan peraturan tersebut yang justru membuat
cagar budaya semakin tidak berkembang dan bernilai.
"Jadi seolah ingin
melindungi (cagar budaya) namun justru membuatnya mati. Kalau bermanfaat pasti
lestari karena masyarakat turut menjaga. Maka tidak perlu lagi ada (banyak)
aturan untuk menjaga kelestarian cagar budaya," ujar Dicky.
Menurut catatan Dinas Kebudayaan
dan Pariwisata Kota Bandung, hingga kini terdapat 650 bangunan yang diprediksi
memiliki unsur cagar budaya. Pengamatan lapangan terus dilakukan berdasarkan
kriteria menurut perda. Dibawah ketentuan Peraturan Walikota Bandung, terhitung
sebanyak 260 bangunan telah dikategorikan sebagai heritage kolonial, termasuk
gedung bank bjb syariah. ***