BANDUNG,LENTERAJABAR.COM,-Hak interplasi merupakan saran para wakil rakyat untuk menanyakan sesuatu hal kepada pihak tertentu dalam hal ini Gubernur Jawa Barat.
Wacana yang akhir ini mencuat di permukaan menurut anggota DPRD Jabar
dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Abdul Hadi Wijaya turut
meminta Ridwan Kamil untuk tidak menganggap langkah interpelasi dewan
sebagai bentuk kondisi friksi atau konflik lembaga legislatif dengan
gubernur.
"Interpelasi itu sesuatu yang biasa-biasa saja, bukan
sesuatu yang harus menjadi momok atau menggambarkan ketidak akuran atau
hal destruktif. Interpelasi itu hak bertanya, kita mau nanya duduk
perkara dan tolong jelaskan," jelas Abdul kepada media di Bandung.Selasa (8/10/2019).
Ia menambahkan,
interpelasi diperlukan dengan tujuan meminta keterangan kepada
pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis.
Menuru Abdul, hal tersebut biasa dalam berdemokrasi.
"Saya kira
enggak perlu ada tanggapan heboh lah. Terus bukan menunjukkan dewan
menghalau atau sedang merusak pak gubernur dan sebagainya. Tidak seperti
itu," imbuhnya.
Lebih lanjut ia menilai, perjalanan satu tahun
roda Pemprov Jabar di bawah kepemimpinan Ridwan Kamil terlalu dominan
pada tataran sosialisasi kinerja pencitraan. DPRD Jabar, ujarnya,
melihat ada beberapa hal yang harus disamakan persepsinya.
Menurut politisi senior partai berlambang bulan sabit kembar ini , dalam setahun ini masih terlalu banyak retorika dan publikasi dibandingkan kerjaan yang esensi,tutur wakil rakyat daerah pemilihan Kabupaten Karawang-Purwakarta ini.
Abdul
pun menilai Ridwan Kamil terlalu nyaman dengan pola pencitraan melalui
pemberitaan dan media sosial. Menurutnya, hal itu berdampak pada wibawa
pembangunan Jawa Barat yang mengalami penurunan. Selain itu, Ridwan
Kamil dinilai mempunyai pola komunikasi yang tidak bagus dan menciptakan
situasi tidak harmonis dengan DPRD.
"Bahkan dalam beberapa hal
yang mendasar, Jawa Barat ini mundur. Contoh yang sisa periode
sebelumnya belum dikerjakan di Kesra, di (Bidang) Perekonomian.
Komunikasi juga inginnya antara kami di dewan dan gubernur itu bisa
enak. Sekarang 'kan semacam ada hambatan," ujar Abdul.
Pola
tersebut, katanya, menciptakan harmonisasi pemerintah provinsi dengan
DPRD yang seharusnya bersinergi, terkendala dengan ego pencitraan.
Kondisi itu bahkan dianggap sudah terlalu sering dan memicu terjadinya
ketidaknyamanan komunikasi antara gubernur dengan mitra kerjanya yang
secara konstitutional sudah ditunjuk yaitu DPRD.
"Pak gubernur
lebih cenderung ke media tanpa menginformasikan dulu kepada dewan.
Banyak contohnya, yang paling segar diingatan ketika wacana pemindahan
pusat pemerintahan. Beliau menyampaikan tanpa forum resmi seperti
paripurna, tiba-tiba digelindingkan dan akhirnya membuat
heboh,pungkasnya.(Ari/Red)