YOGYA,LENTERAJABAR.COM,-Abdul Fikri Faqih, Wakil Ketua Komisi X DPR RI menyebut pengelolaan Borobudur kacau. Pasalnya, terjadi tumpang tindih dalam pengelolaan candi peninggalan Kerajaan Dinasti Syailendra tersebut. “Lembaga pengelola tumpang tindih, pemda merasa tidak dilibatkan, akhirnya persoalan tidak tertangani,” ujarnya dalam Kunjungan Kerja Spesifik Komisi X DPR RI di Kawasan Candi Borobudur Jumat (22/11).
Kawasan Candi Borobudur adalah salah satu kawasan destinasi pariwisata super prioritas yang diatur setidaknya oleh tiga undang-undang, yakni UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, UU No. 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan, dan UU No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
Fikri menuturkan, pengelolaan Kawasan Borobudur ini tumpang tindih karena meski diatur tiga undang-undang tersebut di atas, belum ada aturan pelaksanaan mengenai hal tersebut. UU Cagar Budaya Pasal 97 mengamanatkan pengelolaan cagar budaya dilakukan oleh badan pengelola yang dibentuk oleh Pemerintah,
Pemerintah Daerah, dan atau masyarakat hukum adat. Badan tersebut terdiri atas unsur pemerintah dan atau pemda, dunia usaha dan masyarakat. Saat ini, Kawasan Candi Borobudur kini berada di bawah pengelolaan kementerian (Kemendikbud dan Kemenpar), pemda, BUMN juga Badan Otorita Borobudur yang dibentuk melalui Perpres No.46 tahun 2017. Namun, yang terjadi, pemda setempat yakni Kabupaten Magelang merasa tidak dilibatkan, padahal Candi Borobudur sendiri terletak di kabupaten tersebut.
“Tumpang tindih ini yang membuat tidak bisa terkelola dengan baik dan tidak bisa menyelesaikan persoalan yang terjadi,” ujar anggota yang terpilih dari Dapil Jateng IX ini.
Ia menyebutkan, masih ada beberapa persoalan di antaranya soal tarik ulur isu konservasi World Heritage dan target kunjungan wisatawan. Fikri menilai tarik ulur ini menjadikan dilema; ada kepentingan untuk konservasi cagar budaya dan kepentingan untuk mencapai target wisatawan. Jumlah wisatawan pada tahun ini masih terus digenjot agar bisa mencapai 20 juta seperti yang ditargetkan pemerintah.
Lebih lanjut, Fikri mengatakan, “Ada juga persoalan carrying capacity, daya dukung yang terbatas. Kawasan ini tentu memiliki batas dalam melayani jumlah manusia yang berada di dalamnya. Kekeringan yang terjadi, juga perlu mendapat perhatian agar kebutuhan masyarakat dan wisatawan dapat terpenuhi.” Soal lingkungan ini, doktor ilmu lingkungan ini menilai perlunya sinkronisasi Rencana Tata Ruang Wilayah, Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dan Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah (RIPARDA).
Fikri berharap amanat undang-undang tersebut segera dapat dilaksanakan sehingga tidak lagi terjadi tumpang tindih dan pengelolaan kawasan super prioritas ini dapat lebih optimal sehingga upaya pembangunan pariwisata dapat terus berjalan tanpa melupakan upaya konservasi cagar budaya. (Rel/Red)