JAKARTA.LENTERAJABAR.COM,--Bermain adalah hak anak. Di ruang bermain, harusnya anak-anak bisa bermain dengan gembira, bukan justru mengalami cerita sedih, seperti mengalami kekerasan dan eksploitasi seksual. Oleh karenanya, standardisasi dan sertifikasi Ruang Bermain Anak (RBA) menjadi penting dilakukan untuk menjamin proses pemenuhan hak dan perlindungan khusus anak benar-benar terwujud di dalam ruang bermain. Sinergi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan seluruh lapisan masyarakat juga sangat dibutuhkan untuk mewujudkan Ruang Bermain Ramah Anak (RBRA).
“RBRA merupakan salah satu indikator Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA) dan Provinsi Layak Anak (PROVILA). Namun, cerita-cerita sedih terkait kekerasan terhadap anak yang terjadi di ruang bermain juga masih menghiasi pemberitaan di media kita. Padahal, tujuan akhir dari ruang bermain adalah untuk membuat mereka bahagia dan mewujudkan terjadinya proses perlindungan anak saat mereka bermain, bukan justru membuat anak kita celaka atau mengalami kekerasan dan eksploitasi seksual. Oleh karenanya, semua ruang bermain anak harus terstandardisasi dan tersertifikasi. Janganlah lagi kita ciptakan cerita sedih bagi anak-anak kita ketika ingin bermain dengan bahagia,” tegas Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Lenny N Rosalin Jakarta (28/7) .pada Rapat Koordinasi Awal (Rakorwal) I Standardisasi Ruang Bermain Ramah Anak (RBRA) di Provinsi Kalimantan Timur dan Provinsi Kalimantan Utara yang dilakukan secara virtual.
Lenny menambahkan bahwa bermain memiliki banyak manfaat bagi anak, diantaranya membentuk tumbuh kembang anak secara optimal dan menyeluruh, baik fisik, spiritual, intelektual, dan sosial. Namun, ketika bermain anak harus selalu didampingi.
Prinsip RBRA adalah gratis, non diskriminasi, kepentingan terbaik untuk anak, partisipasi anak, aman dan selamat, nyaman dan sehat, serta kreatif dan inovatif.
Ketua Tim RBRA, Rino Wicaksono mengatakan bahwa proses standardisasi RBRA kali ini akan dilakukan secara virtual, proses ini juga didukung dengan foto dan video elemen-elemen ruang bermain yang dikirimkan oleh pihak daerah kepada Tim RBRA. Rino menambahkan jika pihak daerah membutuhkan kunjungan standardisasi secara langsung, maka hal ini diprakarsai oleh daerah itu sendiri. Selain itu, proses kunjungan secara langsung harus dikoordinasikan terlebih dahulu dengan pihak Kemen PPPA agar bisa menugaskan perwakilan tim RBRA ke daerah tersebut.
“Unsur utama RBRA ada 4 (empat), yakni ruang terbuka hijau publik, perabot bermain, perabot lingkungan, serta sarana dan prasarana pendukung, seperti pos keamanan, Puskesmas, kantin, dan lapangan parkir. Selain itu, alangkah baiknya jika ruang bermain dilengkapi dengan pagar transparan pada perabot permainan untuk menghindarkan anak dari kekerasan, dan papan pengumuman. Bermain merupakan hal yang penting bagi anak. Kami siap mendukung standardisasi dan sertifikasi RBA menjadi RBRA,” ujar Rino.
Kepala Dinas PPPA Provinsi Kalimantan Timur, Halda Arsyad mengatakan bahwa hingga 2020, Provinsi Kalimantan Timur telah memiliki 18 Ruang Bermain Anak (RBA). Ruang bermain ini merupakan ruang terbuka hijau yang dimodifikasi menjadi RBA. Pihaknya berharap agar RBA tersebut terstandardisasi dan tersertifikasi menjadi RBRA.
Kepala Sub Bidang Kesejahteraan Sosial Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Prov. Kalimantan Timur, Andrie Asdi mengatakan bahwa program perlindungan perempuan dan anak memang sudah masuk ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2019-2023 dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) 2021. Hal ini termasuk penyediaan sarana dan prasarana untuk anak. Program dan kegiatan pembangunan daerah yang dilakukan juga mengacu pada pengarusutamaan hak anak. Hal ini tentu harus didukung oleh seluruh masyarakat dan perangkat daerah.
Sementara itu, aspek keselamatan dan keamanan masih menjadi permasalahan bagi pembangunan RBRA di Provinsi Kalimantan Utara. Plt. Kepala Bidang Sosial Budaya dan Pemerintahan Bappeda Litbang Prov. Kalimantan Utara, Syamsaimun berharap agar Prov. Kalimantan Utara bisa mewujudkan RBRA, termasuk memfasilitasi taman yang dibangun oleh masyarakat agar menjadi RBRA.
“Kami sedang mengupayakan terwujudnya RBRA. Dari beberapa ruang bermain yang kami bangun, keselamatan dan keamanan masih menjadi permasalahan bagi kami, karena beberapa ruang bermain yang ada di wilayah kami berada di sekitar jalan raya atau alun-alun kota, sungai, dan danau. Selain taman yang dibangun oleh pemerintah daerah juga terdapat taman yang dibangun oleh paguyuban atau komunitas adat, namun taman tersebut berbasis ekologi. Kami berharap taman yang dibangun oleh paguyuban atau komunitas adat tersebut juga bisa kami bantu fasilitasi sehingga konsep RBRA bisa terakomodir,” terang Syamsaimun. (Red/Ril)