JAKARTA.LENTERAJABAR.COM,--Pegiat perempuan di tingkat desa memiliki peran strategis untuk mendukung upaya pencegahan perkawinan anak sekaligus dalam penanganan kasus perkawinan anak. Oleh karenanya, untuk mencetak pegiat perempuan andalan di tingkat desa dalam pencegahan dan penanganan perkawinan anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menyelenggarakan Webinar Pendidikan Kesadaran Hukum untuk Pencegahan dan Penanganan Perkawinan Anak (25/08/2020).
Pelatihan ini diikuti oleh kelompok perempuan di tingkat desa untuk meningkatkan kapasitas mereka sebagai paralegal di desa dan pegiat perempuan andalan untuk mencegah dan menangani setiap kasus perkawinan anak di lingkungan mereka.
“Kami yakin perempuan-perempuan champions (pegiat perempuan andalan) di desanya masing-masing mampu bergerak untuk mencegah perkawinan anak, terutama memberikan pemahaman kepada keluarga-keluarga di wilayahnya agar tidak mengawinkan anak-anak mereka di usia anak. Pelatihan ini merupakan salah satu upaya Kemen PPPA dalam merangkul anggota masyarakat, terutama kaum perempuan untuk mencegah dan terlibat pada penanganan kasus perkawinan anak. Selain meningkatkan kapasitas paralegal dari kelompok perempuan di tingkat desa, kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas mediasi penanganan kasus perkawinan anak, membangun kesadaran masyarakat terkait dampak perkawinan anak, serta meningkatkan kapasitas pegiat perempuan di desa dalam pencegahan perkawinan anak,” ujar Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak Kemen PPPA, Lenny N Rosalin.
Lenny menambahkan, pegiat perempuan di desa sangat penting untuk dilibatkan dalam pencegahan dan penanganan kasus perkawinan anak. Hal tersebut karena perempuan merupakan sosok ibu yang dekat dengan keluarga, kelompok perempuan merupakan wadah kerja sama dengan organisasi lain yang berjuang dalam isu anak, dapat mudah diterima dalam melakukan advokasi, serta mampu untuk menjadi pegiat yang membantu upaya pemerintah dalam melakukan pencegahan perkawinan anak.
Webinar Pendidikan Kesadaran Hukum untuk Pencegahan dan Penanganan Kasus Perkawinan Anak diikuti oleh perwakilan kelompok perempuan di tingkat desa dari 10 provinsi, yang dilakukan selama 4 hari.
Dalam kegiatan ini juga dilakukan assesmen dan pemetaan permasalahan perkawinan anak oleh para kelompok perempuan. Pada sesi ini, mayoritas peserta kelompok perempuan mengakui bahwa di wilayahnya masih terjadi perkawinan anak. Mereka berpendapat, dalam menangani kasus perkawinan anak di beberapa wilayah, pemerintah merespon dengan melakukan sosialisasi, mediasi, dan membuat regulasi, seperti berupa Peraturan Desa, Peraturan Bupati, dan/atau Peraturan Gubernur.
Perwakilan Institut Lingkaran Pendidikan Alternatif untuk Perempuan (KAPAL Perempuan), Misiyah mengatakan bahwa pelatihan ini sebagian besar diikuti oleh perempuan yang berasal dari desa-desa terpencil. Para perempuan tersebut selama ini sudah terorganisir dan melalui proses pemberdayaan perempuan, sehingga terbangun kesadaran kritisnya. Dengan bekal kesadaran kritisnya, mereka secara sukarela melakukan advokasi mendorong peraturan di tingkat lokal dan menangani kasus-kasus perkawinan anak.
Pelatihan ini bertujuan untuk memperkuat kapasitas mereka dalam strategi menghadapi tantangan yang dihadapi, terutama dalam menegakkan hukum paska revisi Undang-Undang Perkawinan. Misiyah juga berharap dengan meningkatnya kapasitas terhadap instrumen hukum untuk menangani kasus perkawinan anak akan dapat mendukung kerja-kerja mereka yang selama ini masih terbatas pada upaya mediasi kasus.
Selama ini, para kelompok perempuan juga telah berupaya dalam memberikan edukasi kepada masyarakat terkait dampak negatif perkawinan anak, melaporkan kasus perkawinan anak dan berkoordinasi dengan keluarga, Kepala Desa, dan Dinas-dinas, serta memberikan edukasi terkait Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dengan melibatkan tokoh adat, tokoh masyarakat, tokoh agama dan Dinas PPPA. Namun, dalam upaya menekan angka perkawinan anak, kelompok perempuan juga tidak memungkiri jika mereka juga mengalami tantangan.
“Beberapa kelompok perempuan mengakui masih adanya tokoh adat, tokoh masyarakat, dan tokoh agama, serta pihak keluarga yang menyetujui terjadinya perkawinan anak, kurangnya kesadaran dan pemahaman masyarakat terkait dampak negatif perkawinan anak, serta kurangnya pengetahuan masyarakat terkait proses hukum penanganan kasus perkawinan anak. Mereka juga berharap agar pemerintah memberikan pelatihan terkait penguatan hukum penanganan perkawinan anak seperti ini kepada tokoh adat, tokoh masyarakat, dan tokoh agama,” ungkap perwakilan Lembaga Pengembangan Sumber Daya Manusia (LPSDM), Ririn.
Perwakilan KAPAL Perempuan, Budhis Utami mengatakan adanya konstruksi gender di masyarakat yang tertanam pada anak-anak sejak dini juga turut melanggengkan perkawinan anak, terutama bagi anak perempuan.
“Selama ini, konstruksi gender yang ada di sebagian masyarakat adalah perempuan dituntut untuk segera menikah, mempunyai anak, dapat mengurus keluarga dan suami, serta patuh kepada suami. Dan, prestasi perempuan adalah ketika mereka menikah dan memiliki anak,” terang Budhis.
Dalam kesempatan ini, Budhis mengajak agar sejak dini kita memperlakukan anak laki-laki dan perempuan secara setara. Ajarkan keduanya untuk mengerjakan pekerjaan rumah, dan terus mengenyam pendidikan. Kita harus memandang anak laki-laki dan perempuan sama pentingnya, sama berharganya, dan keduanya mampu berkontribusi bagi keluarga dan masyarakat.(Red/Ril)