Ketua Komisi I DPRD Jawa Barat, Bedi Budiman
BANDUNG.LENTERAJABAR.COM,--Ketua Komisi I DPRD Jawa Barat, Bedi Budiman menyampaikan sejumlah catatan
terkait dinamika yang terjadi di Jawa Baat selama tahun 2020.
Kinerja Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat dalam hal ini Gubernur Ridwan Kamil dan munculnya politik identitas menjadi dua hal yang mendapat sorotan.
"Di awal pemerintahan, Gubernur masih beradaptasi baik internal maupun interaksi dengan legislatif," ujar Bedi.
Politisi PDIP itu kemudian mengungkap, di fase itu sempat terjadi dinamika antara Gubernur dan legislatif. Fraksi yang dulu mendukung Gubernur pada Pilgub, justru menjadi paling vokal mengkritisi, bahkan sempat muncul wacana interplasi.
"Pada periode awal, seharusnya Gubernur mengikuti nature politiknya. Jadi kalau dia (gubernur, red) punya pengusung, mestinya dipelihara sehingga ada sinergitas. Jadi terlihat jelas mana fraksi mengkritisi, mana yang mendukung. Sempat terjadi dinamika, namun seiring waktu bisa diatasi," tuturnya.
Fase selanjutnya, lanjut Bedi, yaitu ketika Indonesia dilanda pandemi covid-19. Pandemi yang berlangsung sejak awal hingga akhir tahun 2020 ini memberikan dampak serius terhadap seluruh aktivitas.
Kondisi ini menjadi ujian bagi pemerintah daerah. Sejauh mana konsistensi menangani penularan Covid-19 dan masyarakat yang terpuruk akibat pandemi.
"Di awal pandemi, ternyata Pemprov Jabar mengalami kesulitan dalam hal koordinasi dengan jajaran pemerintah kabupaten kota untuk menyalurkan bantuan sosial," ujarnya.
"Kesulitannya adalah mengenai data dasar penduduk miskin yang berbeda-beda, dari Disdukcapil segini, BPS segini, data Dinsos berbeda lagi sehinga ada tumpang tindih," sambung Bedi.
Di awal pandemi, lanjut Bedi, Pemprov juga membuat plafon dari suatu kajian terkait data jumlah miskin baru (misbar) yang tidak masuk dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).
Menurutnya, angka misbar ini muncul setelah pandemi covid-19 menghantam sejumlah sektor utamanya usaha mikro dan kecil diantaranya bidang perdagangan dan jasa, pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan budidaya, pariwisata, transportasi serta industri.
"Tetapi, data misbar ini tak sinkron dengan di level pemerintahan terendah, misalnya RT dan RW. Banyak orang miskin baru tetapi data yang dipakai data lama, padahal kan kemiskinan itu dinamis. Akibat data tidak diperbarui selama bertahun-tahun, terjadilah akumulasi atau tumpang tindih calon penerima bansos," paparnya.
Apa yang terjadi? Petugas yang mengumpulkan data mendapat komplain dari masyarakat. Bahkan, ujar Bedi, sempat terjadi sejumlah Kepala Desa tak mau mendapatkan bansos dari Pemda. Alasannya sederhana, misalnya yang terdata 3.000 tetapi realisasinya hanya 100.
Bedi menilai hal itu sebagai sebuah persoalan. DPRD Jabar dalam hal ini Komisi I, terus melakukan upaya dan mengkritisi agar data penerima bansos ini mendekati jumlah penerima. Misalnya dari 100 persen terealisasi 85 persen juga sudah bagus.
"Kemudian dilakukan cleansing data, yakni dengan satu sistem dari Diskominfo membuat formula duplikasi antara bantuan pusat dan bantuan provinsi dipisahkan sehingga penerimanya bukan itu-itu saja. Disini baru terasa bahwa koordinasi itu sangat penting," terang Bedi.
Soal lain yang disorotinya yaitu keberadaan Tim Akselerasi Pembangunan (TAP) dan Tim Akselerasi Jabar Juara (TAJJ) yang dibentuk Gubernur Ridwan Kamil terhadap organisasi perangkat daerah (OPD) di Pemerintah ProvinsiJawa Barat..
Dari laporan yang diterimanya, TAP yang berisi pihak eksternal atau non ASN ini dinilai telah mengintervensi terlalu jauh bahkan ditugasi mengatur dan mengawasi kinerja OPD.
"TAP ini bisa dibilang satuan khusus untuk mengendorse program-program yang diinginkan gubernur agar bisa dipahami dan dilaksanakan oleh dinas," katanya.
"Banyak laporan bahwa keberadaan TAP menyebabkan overlapping dan sebagainya. Bahkan dalam pandangan umum fraksi-fraksi ini banyak sekali menyoroti tentang persoalan TAP ini," papar Bedi.
Politik identitas
Ia menyebut, setelah didalami dan mengonfirmasi langsung kepada Kepala Dinas apakah kehadiran TAP ini mengganggu kinerja ASN tak ada yang memberikan informasi jelas.
"Mungkin ini persoalan etika atau attitude, karena bisa saja ada TAP yang sok jago. Tapi disisi lain saya mencoba untuk memahami keadaan, bahwa Gubernur menginginkan akselerasi tapi aparatur juga ada yang langsung memahami kemauan gubernur, ada juga yang lelet dsb. Kami juga terus mengkritisi, cek and balance agar ada solusi," jelasnya.
Masalah lain yang disorot Bedi yaitu soal kondisi sosial politik di Jawa Barat yang menurutnya cukup rawan politik identitas. Ia menilai sesungguhnya kondisi sosial politik Jabar cukup stabil tetapi ada residu
"Ekses dari dinamika politik pusat misalnya politik identitas, di Jabar terasa ada reaksi di beberapa tempat, ada resonansi ke daerah ada getarannya, yang menurut hemat saya harus disikapi apalagi ini menyangkut politik identitas," tegasnya.
Menurut dia, dinamika politik ini tak hanya terjadi 5 tahun sekali atau menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres). Sebagai contoh, kata Bedi, hari ini Pilpres selesai, besoknya sudah muncul survei capres lagi.
"Makanya dinamika politik selalu ada. Kami dari legislatif berupaya agar Pemprov melek terhadap kondisi itu. Atas nama demokrasi, memang membuat seseorang atau kelompok mengekpresikan pilihannya, tapi kemudian bila kita tidak memiliki kesigapan atau intrumen yang memadai akhirnya kita menjadi terkaget-kaget saja dengan adanya dinamika sosial politik yang ada di masyarakat," terangnya.
Atas dasar itu, kata Bedi, Komisi I ingin memerankan secara penuh fungsi Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol). Selama ini, Kesbangpol terkesan hanya sebagai badan yang dikelasduakan, karena dianggapnya politik itu urusan pusat, tapi sekarang sudah tak bisa lagi.
"Karena justru tindakan preventif paling strategis dan normatif itu adalah di Pemerintah Daerah sebagai instrumen sipil," ujar Bedi.
Menurutnya, bila institusi TNI/Polri memiliki keterbatasan untuk mendeteksi satu gejolak politik, tetapi Pemda memiliki fungsi pembinaan untuk aparatur yang lebih luas, luwes dan elegan.
"Kami di Komisi I ingin mengoptimalkan peran Kesbangpol dan kemudian gubernur merespon. Kami ingin Kesbangpol lebih bergaung, apalagi di kabupaten/kota, harus dianggarkan. Jangan sampai anggaran daerah habis untuk pegawai, kesehatan, pendidikan dan infrastruktur membuat kita abai untuk urusan sosial politik, padahal ini sangat penting," bebernya.
Menurutnya, penyebaran paham radikalisme diduga marak terjadi di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Ironisnya, penyebaran juga menyasar hingga instansi pemerintah
Bedi menyebut Provinsi Jawa Barat sering mendapat stigma daerah intoleran akibat tingginya radikalisme. Dalam Indeks Kerukunan yang dirilis Kemenag tahun lalu, Jawa Barat menempati posisi 3 terbawah (skor 68,5), hanya lebih baik dari Sumatera Barat (64,4), dan Aceh (60,2).
"Bahkan temuan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) menyebut banyak aparatur sipil negara (ASN) yang tak suka Pancasila. Padahal, Pancasila sebagai ideologi bangsa sudah final dan seharusnya para PNS itu jadi pihak pertama yang membumikannya kepada segenap warga negara Indonesia," tegasnya.
Kinerja Jokowi
Kondisi itu yang menjadi dasar Komisi I mendorong Pemprov Jabar dalam hal ini Kesbangpol untuk melakukan terobosan. Kesbangpol, tegas Bedi, harus menjadi centre of excellen sesuai nomenklatur kesatuan bangsa dan politik.
"Jadi politik yang dimaksud bukan politik gubernur, bukan politik DPRD, bukan warna saya bukan warna gubernur, tapi politik kenegaraan sesuai dengan ideologi Pancasila, toleransi, kebinekaan, itu yang harus jadi tugas pemerintah," tukasnya.
Pihaknya juga mengingatkan Pemprov dan seluruh mitra kerja Komisi I, salah satunya Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Jabar untuk memasukkan muatan-muatan dan ideologi kenegaraan.
"Sebagai ASN tidak hanya persoalan skill tapi harus punya value, karena ia digaji oleh rakyat oleh negara. Aparatur harus mempertahankan negara ini bersama TNI/Polri. ASN harus menjamin kelangsungan negara jangan dibuat malah jadi berbelok valuenya atau ikut terpapar radikalisme," katanya.
Lebih lanjut Bedi menyatakan, pihaknya juga menginisiasi sejumlah terobosan, di antaranya melakukan sosialisasi 4 pilar yakni Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Bhinneka Tunggal Ika.
Tak diduga, seluruh fraksi merasakan respon positif dari masyarakat karena ini yang pertama dilakukan oleh DPRD daerah melakukan sosialisasi 4 pilar seperti MPR.
"Masyarakat juga menantikan sosialisasi 4 pilar ini. Kesimpulan saya tanpa disadari sejak reformasi, persoalan nilai-nilai kenegaraan ideologi ini terabaikan selama 20 tahun. Tak heran bila dimasyarakat ada generasi yang valuenya atau ideologinya tergeser oleh value lain, yang bertentangan dengan semangat Pancasila termasuk terpapar radikalisme," bebernya.
Ia menegaskan, value lain yang dimaksud ini menyerang sendi-sendii NKRI yakni Bhineka Tunggal Ika yang akibatnya menyulut sentimen politik untuk mendapatkan dukungan dengan identitas.
"Politik identitas ini paling murah costnya, di zaman Perang Eropa juga melakukan sentimen identitas untuk mendapat dukungan. Nah soal politik identitas ini juga kami ingatkan dalam sosialisasi 4 pilar tersebut," ungkapnya.
Bedi juga menyampaikan apresiasi terhadap peran TNI, Polri dan Kejati yang tergabung dalam Gugus Tugas Covid-19. Ia juga menyampaikan hingga saat ini pandemi covid-19 khususnya di Jawa Barat masih dapat dikendalikan sesuai dengan falsafah Jabar sabilulungan dan gotong royong.
Ia juga mengucapkan syukur Pilkada Serentak yang sempat dikhawatirkan menimbulkan klaster baru, ternyata bisa dilalui bersama dan berjalan kondusif dengan menerapkan protokol kesehatan.
Semua itu dilakukan oleh penyelenggara pemilu, pengawas pemilu, paslon dan timnya, parpol, serta media massa yang turut melakukan sosialisasi.
"Alhamdullilah semua berjalan lancar. Apresiasi untuk TNI/Polri dan Kejati Jabar dalam melakukan perannya di masa pandemi. Kami di legislatif membuat regulasi dan mengkritisi agar penanganan covid termasuk pemulihan ekonomi berlansung sesuai dengan yang diharapkan, tidak bermaksud untuk menjatuhkan tapi hanya cek and balance," paparnya.
Terakhir, Bedi juga menyebut tensi politik sempat naik gara-gara kepulangan Rizieq Shihab. Namun kini sudah reda lantaran pemerintah bertindak cepat dan tegas.
Menurutnya, hal ini membuat tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja Presiden Joko Widodo alias Jokowi naik berdasarkan survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC). Termasuk juga menasbihkan PDI Perjuangan sebagai partai politik yang mendapat dukungan tertinggi dari rakyat sebesar 31,3 persen.
"Hasil survei ini merupakan petunjuk penting bahwa mayoritas publik memercayai Presiden Jokowi, baik sebelum atau di masa pandemi covid-19. Dan ini bukan hanya performa Presiden Jokowi saja tapi juga dibantu oleh pimpinan daerah termasuk di Jawa Barat yang kini telah berjalan on the track," pungkasnya.***