Caption : Direktur
PD Kebersihan Kota Bandung, Gun Gun Saptari Hidayat.
BANDUNG.LENTERAJABAR.COM,--Tepat
16 Tahun yang lalu, 21 Februari 2005 dunia dikejutkan dengan sebuah
tragedi bencana yang diakibatkan oleh longsornya sampah di TPA
Leuwigajah yang menyebabkan 147 orang tewas. Tragedi ini seakan
membangunkan Bandung dan Indonesia dari bom waktu potensi masalah
sampah.
Kejadian ini pun
mengilhami lahirnya hari peduli sampah nasional yang ditetapkan oleh
Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) pada tahun 2006 yang diperingati
setiap tanggal 21 Februari. Tragedi ini diperingati untuk diambil
pelajarannya bukan untuk diulang tentunya.
Direktur
PD Kebersihan Kota Bandung, Gun Gun Saptari Hidayat menilai, ada sebuah
shocking statement terkait peristiwa tersebut, yaitu bahwa “membuang
sampah pada tempatnya ternyata bukan perilaku yang baik”.
Tentu
saja statement tersebut mengejutkan, karena statement tersebut memang
belum lengkap. Sedangkan kalimat lengkapnya adalah “membuang sampah pada
tempatnya adalah bukan perilaku yang baik, jika masih dicampur”.
"Pola
kita selama ini membuang sampah pada tempatnya dan mencampuradukkan
sampah lalu dibuang ke petugas kebersihan atau dengan istilah campur
sampah-kumpul-angkut-buang ternyata bukan solusi terbaik," ujarnya
kepada Humas Setda Kota Bandung, Senin 22 Februari 2021.
Menurutnya,
pola ini belum sepenuhnya menyelesaikan masalah tapi lebih kepada
memindahkan masalah. Masalah sampah hanya berpindah dari rumah ke
petugas kebersihan kemudian ke TPS lalu ke mobil truk pengangkut sampah
dan berakhir di TPA. Sedangkan kondisi TPA semakin hari semakin penuh
sampah dan pada akhirnya akan overload.
Sebagai
bagian dari mengambil refleksi peristiwa Bandung Lautan Sampah 2005
tersebut, saat ini Pemerintah Kota Bandung mencoba melakukan sebuah
perubahan paradigma dari campur-kumpul-angkut-buang sampah menjadi
kurangi-pisahkan-manfaatkan sampah (Kang Pisman) yang dalam istilah lain
konsep ini juga disebut dengan istilah Zero Waste is Lifestyle atau di
dunia ekonomi menyebutnya konsep circular economy. Inilah sesungguhnya
kunci peradaban baru dalam pengelolaan sampah.
"Dalam
konsep Kang Pisman, idealnya sampah dipisahkan menjadi 3 jenis sejak
dari sumber dan dimanfaatkan. Untuk sampah jenis pertama, sampah organik
(sisa makanan dan tumbuhan) sebisa mungkin dikembalikan ke alam atau
disedekahkan ke binatang," jelasnya.
Metodenya
bisa dari mulai yang paling sederhana membuat lubang sampah, lubang
biopori atau metode pengomposan seperti takakura, komposter, bata
terawang ataupun disedekahkan pada binatang untuk menjadi pakan ayam,
maggot dan lainnya. Intinya sampah organik tidak lagi dibuang ke
petugas.
Untuk sampah
jenis kedua, sampah daur ulang bisa disetorkan ke bank sampah atau bisa
juga sedekah sampah. Barulah sampah jenis ketiga, sampah sisa atau
residu yang masih dibuang ke petugas kebersihan dan berakhir di TPA.
"Bagi
masyarakat yang halaman rumahnya tidak memadai, maka bisa dilakukan
secara komunal dengan berkoordinasi dengan RW, Lurah dan Camat setempat.
Inilah juga konsep desentralisasi dalam pengelolaan sampah," tutur Gun
Gun.
Ia berpendapat,
untuk menerapkan konsep ini tidak mudah dan membutuhkan proses, karena
menyangkut perubahan budaya dan juga sistem secara bersamaan. Juga
dibutuhkan kolaborasi dengan semua pihak unsur dari mulai pemerintahan
hingga masyarakat setempat.
Pada
pencanangan Kang Pisman awal tahun 2019, pemerintah Kota Bandung
mencoba membangun model percontohan sebanyak 12 RW. Pada tahun 2020
memperluas dengan membangun model skala kelurahan di Kelurahan
Sukamiskin dan Cihaurgeulis.
Pada
wilayah-wilayah yang sudah menerapkan Kangp Pisman dengan baik terjadi
pengurangan sampah yang dibuang ke TPA. Hal ini dibuktikan pada wilayah
model sukamiskin dan cihaurgeulis telah terjadi pengurangan timbulan
sampah yang dibuang ke TPS dan TPA sebesar 32,12 % di Kelurahan
Sukamiskin dan 22 % di Kelurahan Cihaurgeulis.
"Mengacu
kepada data sampah yang dibuang ke TPA, timbulan sampah setiap tahun
normalnya meningkat seiring adanya partumbuhan penduduk. Karena setiap
penduduk dipastikan menghasilkan sampah," ungkapnya.
Menurutnya,
meski pun secara volume total masih naik, namun terjadi penurunan cukup
signifikan dari persentase trend kenaikan. Pada tahun 2019 dibanding
tahun 2018 dari 16,87 % turun menjadi 3,96%. Bahkan pada tahun 2020
terjadi penurunan volume sampah 0,47 % dari tahun 2019.
"Data-data
itu menjadi sebuah indikator positif bahwa program Kangpisman membawa
angin segar dalam perbaikan pengelolaan sampah di Kota Bandung. Tentu
proses ini masih panjang untuk bisa diduplikasikan pada seluruh wilayah
Bandung," kata Gun Gun.
Pada
akhirnya, hal terpenting dari upaya merubah paradigma dari
campur-kumpul-angkut-buang sampah menjadi kurangi-pisahkan-manfaatkan
sampah (Kang Pisman) adalah terjadinya perubahan budaya. Logika
sederhananya, jika masyarakat sudah peduli terhadap urusan kebersihan,
maka secara alami urusan yang lebih besar lainnya akan lebih
diperhatikan.
Hal yang
penting untuk dipahami juga yaitu kebersihan adalah investasi. Jika kita
mengabaikannya, maka kita pernah menabur kerugian besar melalui tragedi
Bandung Lautan Sampah 2005.
"Sebaliknya
jika investasinya benar, maka kita akan menikmati deviden berupa
nyamannya kota Bandung, tumbuhnya ekonomi, dan tentunya peradaban baru
budaya yang lebih positif," ujarnya.(Rie/Red)