Oleh: Yuyun Suminah, A. Md
(Seorang Guru di Karawang)
Masuk 10 hari terakhir umat muslim dari seluruh penjuru dunia melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadan walaupun masih dalam kondisi pandemi yang membatasi segala aktivitas. Namun tidak seharusnya menjadikan itu semua sebagai penghalang untuk menjalankan ketaatan kepada-Nya. Justru, kondisi saat ini menjadikan kita lebih raqarrub ilallah dan lebih khusyuk menjalankan ibadah puasa sebagaimana diwajibkan kepada umat terdahulu.
"Wahai orang-orang yang beriman! diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa." (TQS. Al- Baqarah: 183)
Bulan yang ditunggu-tunggu rahmat, berkah, ampunan dan keistimewaan lainnya. Sehingga umat muslim pun berlomba-lomba dalam ketaatan demi meningkatkan takwa.
Ibadah puasa diwajibkan kepada seluruh umat muslim yang terdahulu, sekarang dan umat yang akan datang. Turunnya perintah berpuasa mulai disyariatkan pada tanggal 10 Sya'ban tahun kedua Hijriah atau 624 Masehi setengah tahun setelah umat Islam berhijrah dari Mekah menuju Madinah.
Atau saat setelah umat Islam diperintahkan untuk memindahkan kiblat yang sebelumnya mengarah ke Masjid Al-Aqsa berubah mengarah ke Masjidil Haram. Kemudian menurut hadist yang diriwayatkan oleh Mu'adz bin Jabal, mengatakan bahwa sebelum Nabi mendapatkan perintah untuk puasa Ramadan, Rasulullah SAW telah melaksanakan puasa 'Asyura dan puasa tiga hari setiap bulannya.
Digambarkan dalam sejarah perjuangan umat Islam saat itu ketika awal-awal melaksanakan ibadah puasa, yaitu tanggal 17 Ramadhan tahun ke-2 H terjadi peristiwa besar, yakni Perang Badar al-Kubra. Pada Perang Badar tersebut, Rasulullah SAW. berserta para sahabatnya yang berjumlah 315 orang berperang melawan pasukan dari kaum kafir Quraish yang jumlahnya lebih dari 3 kali pasukan Rasulullah SAW, yakni berjumlah sekitar 1.000-an orang. Perang Badar tersebut dimenangkan oleh kaum Muslim atas pertolongan dari Allah SWT (TQS. Ali Imran [3]: 133).
Dalam keadaan berpuasa mereka menahan lapar dan haus tetapi mereka tidak gentar melawan musuh, menyerah atau mundur. Itulah perjuangan orang-orang beriman pada zaman terdahulu yang hendaknya kita teladani semangatnya dalam mentaati perintah Allah dan Rasul-Nya.
Bagaimana umat terdahulu berjuang dalam kondisi berpuasa menahan haus dan lapar tapi itu semua tidak dijadikan alasan untuk berjihad melawan kebatilan. Berjuang melawan nafsu dalam dirinya untuk tidak berleha-leha atau menjadikannya malas untuk meraih pahala yang berlipat ganda dariNya. Justru, perjuangan di bulan Ramadhan digunakannya meraih takwa yang sebenar-benarnya.
Namun sayang, semangat ketaatan dan perjuangan umat terdahulu belum dijadikan cermin oleh umat Islam saat ini. Karena, walaupun umat Islam setiap tahun melaksanakan ibadah Shaum Ramadan belum berimbas kepada perubahan perilaku yang sesuai dengan tuntunan syariat.
Peningkatan kasus kejahatan dan kriminalitas, merajalelanya aktifitas Ribawi dan perzinahan adalah bukti yang tak terbantahkan. Walaupun memang ini adalah perilaku individual, namun jika sudah membudaya di masyarakat berarti menunjukan ada yang salah dari sistem kehidupan yang berlaku di masyarakat itu sendiri.
Karena sejatinya, jika sistem peraturan yang berlaku sesuai dengan tuntunan syariat tentu semua itu tidak akan terjadi. Bukankah tujuan dari berpuasa adalah meraih takwa, baik pribadi maupun masyarakat. Maka, ibadah Shaum Ramadan hendaknya pun mewujudkan ketakwaan komunal yang di dalamnya penuh dengan aktifitas "Amar Ma'ruf Nahi Munkar".
Sehingga, ibadah puasa tidak hanya menahan haus dan lapar saja melainkan menahan hawa nafsu dari segala keserakahan kekuasaan. Sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah SAW Ramadhan diibaratkan "mengkencangkan ikat pinggang". Dengan memperbanyak ibadah ruhiyah mulai dari solat sunnah, sodaqoh dan amalan lainnya bahkan berjihad.
Sudah saatnya umat menjadikan Ramadhan momentum untuk meraih takwa yang sebenar-benarnya, dengan berjuang menerapkan kembali syariat Islam dalam semua lini kehidupan. Agar terbentuk ketakwaan dalam diri pribadi, masyarakat bahkan dalam kehidupan bernegara.
“Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan (ayat-ayat Kami). Karena itu, Kami menyiksa mereka disebabkan oleh perbuatan mereka itu.” (TQS Al-A’raf: 96)
Dengan syariat Islam yang diterapkan secara kaffah (sempurna) oleh penganutnya maka ketakwaan setiap individu akan terjamin, terjaga dan terkondisikan karena negara mengaturnya. Sudah saatnya Ramadhan menjadi momentum penerapan Islam secara kaffah yang sesuai Alquran dan assunnah. Ketika penerapan Islam diterapkan ke dalam semua aspek kehidupan maka kakikatnya semua itu akan mewujudkan takwa. Wallahua'lam.**