JAKARTA.LENTERAJABAR.COM,-- Meningkatnya ekonomi dan keuangan digital tidak hanya membawa dampak positif bagi perusahaan dan masyarakat secara luas. Ibarat dua mata, pesatnya teknologi digital juga membawa risiko ancaman kejahatan siber atau cyber crime yang semakin marak.
Tak tanggung-tanggung, kejahatan cyber dapat memberikan pukulan yang telak bagi industri khususnya industri jasa keuangan seperti menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat dan tentunya kerugian finansial bagi pelaku industri.
Oleh sebab itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selaku regulator sektor jasa keuangan tak akan tinggal diam untuk meminimalisir dampak kejahatan cyber di industri keuangan.
"Tingkat kepercayaan masyarakat memang mnjadi salah satu prioritas utama kita dalam transaksi bisnis mereka terutama karena kerugian dalam cyber crime ini sangatlah besar," ujar Imansyah, Deputi Komisioner OJK Institute Keuangan Digital dalam diskusi virtual Warta Ekonomi bertajuk 'Countering Cyber Crime For Digital Trust In The Financial Sector' di Jakarta, baru-baru ini.
Menurutnya, untuk meminimalisir dampak kerugian dari kejahatan cyber atau cyber crime yang dihadapi pelaku industri, OJK terus membantu industri jasa keuangan untuk meningkatkan cyber resilient atau daya tahan cyber.
"Terkait dengan upaya cyber resilient dalam catatan yang lebih mikro, kami melihatnya dalam dua persfektif. pertama, bagaimana OJK menyiapkan dan terus menyempurnakan regulasi yang ada secara berkesinambungan dan fit dengan dinamika yang ada. Dan berikutnya bagaimana kita terus mengupayakan literasi dan edukasi kepada masyarakat," ungkapnya.
Dia menjelaskan, dalam tatanan regulasi, OJK telah mengambil langkah seperti penyusunan ketentuan strategi anti fraud, kemudian regulasi fintech baik itu peer to peer, securities crowdfunding, digital bank, dan equity crowdfunding.
"Dan mungkin ke depan akan terus dikeluarkan berbagai macam regulasi yang lebih spesifik mengatur tentang fintech dan termasuk penguatan aspek manajemen risiko teknologi informasi, keamanan data, regulatory compliance, information & cyber security," tukasnya.
Lebih lanjut, secara spesifik dalam konteks manajemen risiko mungkin sudah waktunya juga dimulai studi cyber risk sebagai risiko yang stand alone di sektor jasa keuangan dalam konteks kerangka manajemen risiko scara umum.
"Risiko cyber seharusnya sudah mulai diidentifikasi, diukur dan dievaluasi terpisah dengan operasional risk hingga proses kalibrasi dlm hitung kerugian, kmudian mnyiapkan bantalan modal mnjadi lebih presisi untuk mencegah kerugian lebih besar," kata Imansyah.
Kemudian terkait upaya edukasi, regulator punya fintech center atau yang biasa disebut OJK Infinity. Ini merupakan wadah yang memberikan layanan konsultasi bagi industri, mahasiswa dan masyarakat secara luas terkait keuangan digital.
Selain itu, pihaknya juga melaksanakan kegiatan sosialisasi digitalisasi sektor jasa keuangan dan berperan aktif dalam satu program yang sedang kami siapkan bekerja sama dengan universitas-universitas yaitu digital financial literacy.
"Bentuknya dalam bentuk buku, ebook, video, dan game interaktif dgn tema berbagai seputar keuangan digital termasuk edukasi tentang cyber crime," paparnya.
ke depan, Imansyah bilang, OJK juga siapkan berbagai inisiatif kebijakan seperti finalisasi cetak biru transformasi bank digital, penguatan pengawasan berbasis teknologi, pengembangan aplikasi customer support berbasis AI dan big data technology.
Selain Imansyah, hadir pula Mayor Jenderal TNI (Mar) Dr. Suharyanto, S.E., M.M., Deputi Bidang Keamanan Siber dan Sandi Perekonomian, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) yang juga memberikan sambutan terkait kejahatan siber di Indonesia.
Kemudian dalam webinar ini hadir pula para pakar dan pelaku industri yang kompeten di bidangnya. Mereka adalah Gregory Hendra Lembong, Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BCA); Muharto, Chief Information Security Officer (CISO) Bank
Rakyat Indonesia (BRI); Laksana Budiwiyono, Country Manager Indonesia Trend Micro; dan Bari Arijono, Executive Chairman Digital Banking Institute.**