Oleh Daddy Rohanady Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat
Beberapa kawan mengeluhkan tentang sebuah paradoks. Mereka merupakan pengguna jasa layanan transportasi Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB). Yang dikeluhkannya adalah sesuatu yang, menurut hemat saya, sangat wajar. Isi keluhannya menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah Provinsi Jawa Barat, yakni berkaitan dengan belum terintegrasinya moda transportasi.
Dengan menggunakan KCJB, waktu tempuh Jakarta-Bandung hanya sekitar 40 menit. Waktu tersebut memang hanya dari transit oriented development (TOD/stasiun) Halim ke TOD Tegalluar. Namun, dari Tegalluar ke Gedung Sate bisa membutuhkan waktu sekitar 1 jam. Ada beberapa hal yang menyebabkan hal itu.
Selepas dari TOD Tegalluar, jalur yang dilalui menuju ke arah Gedung Sate memang masih banyak yang sempit. Dengan demikian, laju kendaraan pun pasti lebih lambat. Sebenarnya ada jalur pilihan melalui jalan tol, namun, sebelum masuk tol, tetap saja harus mengular masuk ke kawasan kompleks perumahan Summarecon. Sebelum memasuki kawasan itu, lagi-lagi jalurnya masih cukup sempit.
Jika jalur yang dipilih adalah masuk ke arah Jalan Soekarno-Hatta, bisa dipastikan jalur tersebut lebih macet lagi. Sebelum sampai ke Jalan Soekarno-Hatta saja, setelah keluar dari kawasan Summarecon, jalannya sudah mulai menyempit. Belum lagi ketika kita berpapasan dengan para pengunjung Mesjid
Raya Al-Jabbar. Selain jalannya masih sempit, jalur ini sudah cukup padat penggunanya.
Selepas itu, melalui Jalan Cimencrang bisa dipastikan tidak kalah macet. Jalan itu relatif sempit, sedangkan kendraan yang melaluinya tidak pernah sepi sejak diresmikannya Mesjid Raya Al-Jabbar. Jalan Cimencrang memang semestinya sudah diperlebar mengingat volume kendaraan yang melewati jalur itu. Namun, pembebasan lahan di wilayah perkotaan memang bukanlah hal yang mudah. Persoalan pembebasan lahan hampir selalu menjadi masalah klise di setiap kegiatan pembangunan. Padahal, jika Jalan Cimencrang sudah diperlebar, bisa dipastikan volume kendaraan ke dan dari Mesjid Raya Al-Jabbar maupun TOD Tegalluar akan menjadi lebih lancar.
Memasuki Jalan Soekarno-Hatta juga tidak bisa terlepas dari kemacetan. Jalur itu memang sangat strategis mengingat fungsinya yang menjadi penghubung bagian timur menunju arah tengah atau pusat kota. Dengan demikian, bisa dipastikan bahwa volume kendaraan di Jalan Soekarno-Hatta pastilah padat. Di sepanjang kiri-kanan jalan tersebut berjejer berbagai perkantoran, kantor pemerintah, kantor partai, bisnis, supermarket Markas Kepolisian Daerah Provinsi Jawa Barat. Di belakangnya juga banyak sekali perumahan yang tentu saja jumlah rumahnya secara total menjadi ribuan.
Jika kita menunju Gedung Sate dari Jalan Soekarno-Hatta, ada beberapa alternatif yang bisa digunakan. Bisa melalui perempatan Jalan Kiara Condong dan bisa juga melalui perempatan Jalan Buah Batu. Namun, bisa dipastikan, menjaleng kedua perempatan besar tersebut, akan dialami pemacetan yang cukup panjang. Bahkan, sebelum itu, perjalanan akan terganggu dengan adanya kendaraan yang berputar arah.
Lalu, masuk ke pusat Kota Bandung pun tidak kalah macet. Para pengguna jalan harus tahu betul jalur alternatif yang akan digunakan. Jika tidak, bisa dipastikan satu hal: pasti akan terjebak beberapa kemacetan. Jadi, memang dibutuhkan juga pengetahuan soal jalur mana yang macet dan jalur mana yang tidak --atau kemacetannya tidak terlalu parah.
Begitulah kita-kira kondisi yang akan dialami para penumpang KCJB selepas turun dari TOD Tegalluar. Masih ada beberapa jalan alternaf yang bisa digunakan. Paling tidak, gambaran singkat ini bisa menjadi gambaran singkat. Namun, gambaran singat ini memang membutuhkan solusi atas masalahnya.
Sempitnya jalur dan kemacetan tersebut menjadi PR berikutnya bagi Pj. Wali Kota Bandung Bambang Tirtojuliono. Bambang juga merupakan Kepala Dinas Bina Marga dan Penataan Ruang Provinsi Jawa Barat. Selain itu, masalah tersebut juga merupakan PR bagi Penjabat Gubernur Jawa Barat Bey Triadi Machmudin.
Tentu PR itu tidak hanya untuk kedua eksekutif tersebut. Hal itu juga menjadi PR untuk kebijakan yang dihasilkan bersama DPRD Kota Bandung dan DPRD Provinsi Jawa Barat. Bahkan, akan menjadi lebih elok lagi jika Pemerintah Pusat juga turut mengulurkan tangan untuk menyelesaikan masalahnya.
Semoga semua pihak berkenan mengikhtiarkan solusi atas masalah yang ada di Provinsi Jabar itu. Dengan demikian paradoks yang ada tidak terjadi lagi. Bukankah negara wajib mengurus dan mengikhtiarkan segala upaya untuk kesejahteraan rakyat? Wallahu’alam bisshawab.