Notification

×

Iklan

Iklan

Solusi Turbelensi APBD Jabar Jilid 2

Minggu, 05 Januari 2025 | 21:41 WIB Last Updated 2025-01-05T14:41:15Z


Oleh Daddy Rohanady  Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat



Tulisan ini tidak akan mebahas kenaikan pajak dari 11% menjadi 12%. Pro-kontra tentang isu tersebut memang sangat menarik untuk dibahas, tetapi akan dituangkan dalam tulisan berbeda. Seperti judulnya, tulisan ini khusus lebih menyoroti Turbulensi Jilid 2 yang terjadi pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Jawa Barat.


Provinsi Jawa Barat (Jabar) sudah dua kali mengalami turbulensi dalam hal volume APBD. Turbulensi APBD Jabar jilid 1 terjadi ketika musibah melanda seluruh negeri pada akhir 2019. Otomatis kala itu terjadi penurunan volume APBD Jabar Tahun Anggaran 2020 sekitar Rp 10 triliun. Refocusing dan realokasi anggaran pun tak terhindarkan. Hal itu berakibat pula pada banyaknya program/kegiatan yang tidak terbiayai.


Pemerintah Provinsi Jabar lantas memutuskan untuk berutang ke PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) sebesar Rp 1,8 triliun pada APBD Perubahan 2020 dan berutang kembali pada APBD murni 2021 sebesar Rp 2,2 triliun. Jadilah Jabar untuk pertama kali dalam sejarah sejak 2009 berutang total sebesar Rp 4 triliun. Itulah nomenklatur Pinjaman (Utang) Daerah yang muncul dalam stuktur APBD Jabar kala itu.


Hal itu lantas harus diikuti pula dengan munculnya nomenklatur baru lainnya pada bagian Pengeluaran Pembiayaan Daerah, yakni Pembayaran Pinjaman (Utang) Daerah. Lalu, hal itu harus pula dilakukan setiap tahun. Nilainya hingga kini adalah sekitar Rp 566 miliar per tahun yang dituangkan dalam APBD murni. Ini utang yang harus dibayar oleh seluruh rakyat Jabar melalui APBD Provinsi Jabar. 


Turbulensi APBD Jabar jilid 2 terjadi sebagai akibat koneskwensi logis diberlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 Tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD). Undang-Undang tersebut menegaskan bahwa dana bagi hasil (DBH) antara Provinsi dan Kabupaten/Kota yang selama ini berjalan diputuskan mengalami perubahan yang sangan signifikan. 


Hingga 2024 DBH dibagi dengan komposisi pada kisaran  70% menjadi hak provinsi, sedangkan sekitar 30% menjadi hak kabupaten/kota. Dengan diberlakukannya secara efektif UU HKPD mulai Januari 2025, komposisi itu dibalikkan. Artinya, mulai Januari 2025 komposisi DBH menjadi sekitar 70% adalah hak kabupaten/kota dan sekitar 30% menjadi hak provinsi.


Dampaknya tentu saja sangat signifikan. Bagi Provinsi Jabar, pemberlakuan UU HKPD menimbulkan turbulensi APBD jilid 2, yakni turunnya volume Pendapatan Daerah sebesar Rp 6 triliun. Bisa dibayangkan akibat turunannya. Hal itu membuat sejumlah besar program dan kegiatan yang ada tidak terbiayai secara memadai. Bahkan, banyak pos yang dengan sangat terpaksa harus dihilangkan. Bansos/hibah serta bantuan keuangan ke kabupaten/kota pun ikut “terkurud”.


Di sisi lain, pemberlakuan UU HKPD bagi kabupaten/kota justru memberi berkah. PAD kabupaten/kota seketika mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Kemampuan keuangan kabupaten/kota pun meningkat cukup tajam. Bahkan, beberapa kabupaten/kota di Jabar menerima “pergeseran DBH” yang sangat tidak sedikit. Dengan demikian, mereka mampu lebih banyak membiayai program/kegiatan pembangunannya.


Kini kemajuan pembangunan di tingkat kabupaten/kota justru amat tergantung pada kebijakan di kabupaten/kota itu sendiri. Bantuan keuangan yang biasanya mengalir cukup besar dari Provinsi Jabar ke kabupaten/kota dipastikan akan berkurang pula volumenya –kalau tidak boleh dijadikan nihil. Ini pun butuh penyelarasan di sana-sini.



Kabupaten/kota diharapkan mampu membiayai pos-pos belanja Pembangunan yang selama ini banyak bergantung pada bantuan keuangan provinsi. Peningkatan volume APBD kabupaten/kota diharapkan mampu membiayai program/kegiatan masing-masing secara lebih maksimal, efektif, dan efisien.


Sementara itu, APBD provinsi tampaknya harus lebih banyak digunakan untuk pencapaian target-target yang menjadi kewajiban Pemerintah Provinsi. Indikator Kinerja Utama (IKU) dalam masing-masing RPJPD dan RPJMD harus menjadi target yang diupayakan realisasinya oleh masing-masing tingkatan pemerintahan. Tentu saja dengan demikian semua diharapkan berjalan simultan untuk mewujudkan visi dan misi Indonesia Maju 2045.


Di sisi lain, Pemprov Jabar sendiri memiliki sederet target yang sudah dituangkan dalam RPJPD maupun RPJPD/RPD. Target dan sasaran tersebut pasti akan mengalami penyelarasan seiiring dengan terpilihnya Gubernur Jabar yang baru berdasarkan pemilihan kepala daerah pada 27 November 2024 lalu. Belum lagi aka nada penyelarasan RPJMD terkait dengan revisi RPJMN. Di luar itu, masih ada hal lain yang juga harus dimasukkan dalam RPJMD, yakni janji-janji Gubernur Jabar terpilih.


Jika melihat kemampuan keuangan daerah, dari sisi Pendapatan Daerah yang ada, rasanya fiscal gap menganga begitu besar. Artinya, akan banyak program/kegiatan yang tidak terbiayai secara maksimal. Konsekwensi logisnya adalah sulit mencapai target-target IKU yang sudah ditetapkan. 


Solusinya adalah menambah Pendapatan Daerah. Ada beberapa pos pendapatan yang masih bisa ditingkatkan. Bisa dengan ekstensifikasi atau intensifikasi. Contoh ekstensifikasi adalah dengan meminta kebijakan pusat agar Perusahaan yang Lokasi pabriknya di Jabar agar memindahkan pula kantor pusatnya ke Jabar. Dengan demikian PPH 21 dan PPH 25 Badan akan menjadi hak Jabar. Selama ini PPH tersebut diserahkan ke tempat domisili kantor pusatnya, meskipun kantor pusat tersebut hanya sebuah ruangan kecil. Padahal, selain kantor pusat hanya sekamar, karyawan yang jumlahnya ratusan “buang kotoran” di Jabar. Belum lagi pajak kendaraan dll.


Ada sumber lain yang juga seharusnya memberi kontribusi yang signifikan ke pos Pendapatan Asli Daerah, yakni Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Sayangnya, dari 41 BUMD milik Pemprov Jabar, mayoritas masih menganggap APBD adalah ATM. Dengan demikian, jangankan memberi dividen, mempertahankan hidupnya saja sudah megap-megap.


BUMD juga harus dioptimalkan.  Bukankah BUMD didirikan untuk menambah Pendapatan Asli Daerah melalui dividen. Memang ada fungsi lain dari BUMD, yakni social services. Pertanyaanya, bagaimana atau apa yang harus dilakukan jika BUMD tersebut tidak mememuhi kedua unsur itu, baik dividen maupun public services?


Tampaknya BUMD milik Provinsi Jabar harus dilakukan due diligence agar diperoleh data yang komprehensif sehingga ada keputusan yang lebih tepat untuk menyikapinya. DPRD sempat mewacanakan dibentuknya Pansus BUMD. Dari sana kemudian akan diperoleh alternatif Keputusan: dilebur/merger, dibubarkan/ditutup, atau dipertahankan/ditingkatkan.


Naikkan juga potensi ekspor dari Jabar dengan adanya Pelabuhan Utama Patimban di Kabupaten Subang. Ini akan berdampak pada pendapatan dari pajak ekspor. Bukankah status Pelabihan Patimban adalah Pelabuhan Utama? Sudah selayaknya Patimban menjadi Pelabuhan yang bisa dijadikan tempat naik-turunnya barang ekspor-impor. Dengan demikian, ada geliat ekonomi di sana yang akan berdampak pada meningkatnya laju pertumbuhan ekonomi Jabar.


Dengan fiscal gap yang menganga begitu besar dan keterbatasan Pendapatan Daerah, jangan pula mengeluarkan pembiayaan untuk pos yang tak jelas manfaatnya.


Terkait potensi tambahan pendapatan dari PPH 21 dan 25 Badan, dibutuhkan political will dan goodwill dari beberapa pihak terkait.


Semoga saja semua bisa terealisasi sesuai dengan harapan sehingga target IKU dalam RPJPD dan RPJMD nantinya bisa terealisasi. Jika Pendapatan Daerah meningkat, niscaya janji KDM pun akan terwujud. Jabar akan menjadi Istimewa, di mana seluruh rakyatnya akan menjadi Makmur dan Sejahtera.

×
Berita Terbaru Update